A.
Wakalah
1.
Pengertian
Dari sekian banyak
akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah
termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah
dapat diterima. Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh),
pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau
pendelegasian (al-tafwidh), yang diartikan juga dengan memberikan kuasa
atau mewakilkan. Adapula pengertian-pengertian lain dari Wakalah
yaitu:
- Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat.
- Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama
kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam
hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau
wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah
dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab
atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau
pemberi kuasa.
2. Dasar Hukum Wakalah
Menurut agama Islam,
seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada orang lain dimana
orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan sepanjang
hal-hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh agama. Dalil yang dipakai
untuk menunjukkan kebolehan itu, antara lain :
a.
Al-Qur’an:
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءلُوا
بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْماً
أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا
أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى
طَعَاماً فَلْيَأْتِكُم بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ
بِكُمْ أَحَداً ﴿١٩﴾
“Dan Demikianlah
Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri.
berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada
(disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”.
berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu
berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke
kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan
yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah
ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.”
QS Al-Kahfi (18:19)
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ
كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ
الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ﴿٢٨٣﴾
“Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[1]
(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” QS Al-Baqarah (2:283)
وَإِنْ خِفْتُمْ
شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ
أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ
كَانَ عَلِيماً خَبِيراً ﴿٣٥﴾
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam[2] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” QS An-Nisaa (4:35)
قَالَ
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ ﴿٥٥﴾
“Berkata Yusuf:
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. QS Yusuf
(12:55)
b.
Al-Hadits:
Banyak hadits yang dapat
dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya:
1) “Bahwasanya Rasulullah
mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini
Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam
al-Muwaththa’)
2) “Perdamaian dapat
dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin
‘Auf)
Dalam kehidupan
sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai
urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan
membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.
c.
Ijma’:
Para ulama pun bersepakat
dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Mereka bahkan ada yang
cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis
ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong
diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحِلُّواْ شَعَآئِرَ اللّهِ وَلاَ الشَّهْرَ الْحَرَامَ
وَلاَ الْهَدْيَ وَلاَ الْقَلآئِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ
فَضْلاً مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَاناً وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ وَلاَ
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن
تَعْتَدُواْ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٢﴾
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” QS Al-Maa-idah (5:2)
3. Rukun dan Syarat-Syarat
dalam Wakalah
Menurut kelompok Hanafiah,
rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab merupakan pernyataan mewakilkan
sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul adalah penerimaan pendelegasian
itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus terkait dengan menggunakan sesuatu
lafaz tertentu. Akan tetapi, jumhur ulama tidak sependirian dengan pandangan
tersebut. Mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat Wakalah itu adalah
sebagai berikut:
a.
Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
Seseoarang yang
mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf pada
bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika
mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
Pemberi kuasa mempunyai
hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi
kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi
kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang
yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak
berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara
mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak
yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat
baginya.
b. Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil)
Penerima kuasa pun perlu
memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur proses akad wakalah
ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.
Seseorang yang menerima
kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang diberikan
oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang
diluar batas, kecuali atas kesengajaanya,
c. Obyek yang diwakilkan.
Obyek mestilah sesuatu
yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan
sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
Para ulama berpendapat
bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti
shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti
membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu
tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
Tidak semua hal dapat
diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun tidak
diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.
d. Shighat
Dirumuskannya suatu
perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan
memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya
akad wakalah ini. Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada
penerima kuasa. Tugas penerima kuasa oleh
pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu
tindakan tertentu.
4. Aplikasi Wakalah
dalam Institusi Keuangan
Akad Wakalah dapat
diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama
dalam institusi keuangan:
- Transfer uang
Proses transfer uang ini
adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana prosesnya
diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap
bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank
untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank
mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses
yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada
rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini
b.
Wesel Pos
Pada proses wesel pos,
uang tunai diberikan secara langsung dari Al-Muwakkil kepada Al-Wakil,
dan Al-Wakil memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah yang
dituju. Berikut adalah proses pentransferan uang dalam Wesel Pos.
c.
Transfer uang melalui cabang suatu bank
Dalam proses ini, Al-Muwakkil
memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan Al-Wakil,
namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim.
Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut.
Berikut adalah proses pentrasferan uang melalui cabang sebuah bank.
d.
Transfer melalui ATM
Kemudian ada juga proses
transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara
langsung uangnya diberikan dari Al-Muwakkil kepada bank sebagai Al-Wakil.
Dalam model ini, Nasabah Al-Muwakkil meminta bank untuk mendebet
rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening
nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat
sering terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa
melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM. Berikut adalah proses
pentransferan uang untuk model ini:
a)
Letter Of Credit Import Syariah
Akad untuk transaksi Letter
of Credit Import Syariah ini menggunakan akad Wakalah Bil Ujrah. Hal
ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah
bil Ujrah ini memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank
dengan imbalan pemberian ujrah atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam
akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi.
> 1. Akad Wakalah bil Ujrah dengan
ketentuan:
1)
Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang
diimpor.
2)
Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan
dokumen-dokumen transaksi impor.
3)
Besar ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
> 2. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:
1)
Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang
yang diimpor.
2)
Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan
dokumen-dokumen transaksi impor.
3)
Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase. Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada importir untuk
pelunasan pembayaran barang impor.
> 3. Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan:
1)
Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk melakukan
pengurusan dokumen dan pembayaran.
2)
Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana bank bertindak
selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada importir sebesar harga
barang yang diimpor.
> 4. Akad Wakalah bil Ujrah dan
Hiwalah, dengan ketentuan:
1)
Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang
yang diimpor.
2)
Importir dan Bank melakukan akad Wakalah untuk pengurusan
dokumen-dokumen transaksi impor.
3)
Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk presentase.
Hutang kepada eksportir
dialihkan oleh importir menjadi hutang kepada Bank dengan meminta bank membayar
kepada eksportir senilai barang yang diimpor.
b)
Letter Of
Credit Eksport Syariah
Akad untuk transaksi Letter of Credit
Eksport Syariah ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah ini
memiliki definisi dimana bank menerbitkan surat pernyataan akan membayar kepada
eksportir untuk memfasilitasi perdagangan eksport. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang
terjadi.
> 1. Akad Wakalah bil Ujrah dengan
ketentuan:
1)
Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
2)
Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing
bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal, bukan dalam presentase.
> 2. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:
1)
Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
2)
Bank melakukan
penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank).
3)
Bank memberikan dana talangan (Qardh) kepada nasabah eksportir
sebesar harga barang ekspor.
4)
Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk presentase.
5)
Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan
dalam akad.
Antara akad Wakalah bil
Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).
> 3. Akad Wakalah bil Ujrah
dan Mudharabah dengan ketentuan:
1)
Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses
produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir.
2)
Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
3)
Bank melakukan
penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank).
4)
Pembayaran oleh
bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight)
atau pada saat jatuh tempo (usance).
5)
Pembayaran dari
bank penerbit L/C (issuing bank) dapat digunakan untuk Pembayaran ujrah,
pengembalian dana mudharabah, dan pembayaran bagi hasil.
6)
Besar ujrah harus
disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk
presentase.
e.
Investasi Reksadana Syariah
Akad untuk transaksi
Investasi Reksadana Syariah ini menggunakan akad Wakalah dan Mudharabah.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001.
Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana pemilik modal memberikan kuasa
kepada manajer investasi agar memiliki kewenangan untuk menginvestasikan dana
dari pemilik modal.
f.
Pembiayaan Rekening Koran Syariah
Akad untuk transaksi
pembiayaan rekening koran syariah ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini
sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 30/DSN/VI/2002. Akad Wakalah
ini memiliki definisi dimana bank memberikan kuasa kepada nasabah untuk
melakukan transaksi yang diperlukan.
g.
Asuransi Syariah
Akad untuk Asuransi
syariah ini menggunakan akad Wakalah bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006. Akad Wakalah bil
Ujrah ini memiliki definisi dimana pemegang polis memberikan kuasa kepada
pihak asuransi untuk menyimpannya ke dalam tabungan maupun ke dalam
non-tabungan.
Dalam model ini, pihak
asuransi berperan sebagai Al-Wakil dan pemegang polis sebagai Al-Muwakil.
5. Berakhirnya Wakalah
Yang menyebabkan Wakalah
menjadi batal atau berakhir adalah:
a.
Bila salah satu pihak yang berakad Wakalah itu gila.
b.
Bila maksud yang terkandung dalam akad Wakalah sudah selesai
pelaksanaannya atau dihentikan.
c.
Diputuskannya Wakalah tersebut oleh salah satu pihak yang berWakalah
baik pihak pemberi kuasa ataupun pihak yang menerima kuasa.
d.
Hilangnya kekuasaan atau hak pemberi kuasa atau sesuatu obyek yang
dikuasakan.
B. Hawalah
1.
Pengertian
Kata Hawalah, huruf haa’ dibaca fathah atau kadang-kadang
dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan)
atau dari kata ha’aul (perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala
’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha,
para pakar fiqih, hawalah adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang
kepada orang lain.
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan
tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah
adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang)
menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar
hutang).
2.
Dasar Hukum Hiwalah
Islam membenarkan hiwalah
dan membolehkannya karena ia diperlukan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Menunda-nunda pembayaran
hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika
seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan)
kepada pihak yang mampu, terimalah” (HR. Bukhari).
Pada hadis ini, Rasulullah
SAW memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang
meng-hiwalah-kan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia
menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada
orang yang di-hiwalah-kan (muhal ‘alaih), dengan demikian haknya
dapat terpenuhi (dibayar).
Dan Menurut hadist riwayat
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin
kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram;
dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
Dan menurut Ijma para Ulama, akad hiwalah telah disepakati boleh
untuk dilakukan. Hal ini didasari kepada kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
3.
Rukun dan Syarat-Syarat dalam Hiwalah
Rukun Hiwalah:
a. Muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
b. Muhal , yakni orang berpiutang kepada muhil.
c. Muhal ‘alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang
kepada muhal,
d. Muhal bih 1, yakni hutang muhil kepada muhal,
e. Muhal bih 2 sebagai hutang muhal alaih kepada muhil
f. Sighat (ijab-qabul),
Syarat sahnya hiwalah:
a.
Relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal ‘alaih berdasarkan
dalil kepada hadis di atas. Rasulullah SAW telah
menyebutkan kedua belah pihak, karenanya muhil yang berhutang
berkewajiban membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan
keinginannya. Dan karena muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil,
maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa kerelaannya.
b.
Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu,
serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hiwalah apabila hutang
berbentuk emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai
penggantinya. Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-hiwalah-kan
untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah pula hiwalah
yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.
c.
Stabilnya hutang. Jika peng-hiwalah-an itu kepada pegawai yang
gajinya belum lagi dibayar, maka hiwalah tidak sah. Keempat, kedua hak
tersebut diketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan
sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia, muhal tidak boleh lagi kembali kepada
muhil. Demikianlah menurut pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.
4.
Jenis-Jenis Hiwalah
Akad Hiwalah, dalam
praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah
berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah berdasarkan rukun Hiwalahnya.
Kelompok pertama yang berdasarkan jenis pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hiwalah,
yaitu Hiwalah Dayn dan Hiwalah Haqq. Hiwalah Dayn adalah
pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain. Sedangkan Hiwalah
Haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.
Disebut Hiwalah
Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq,
jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini,
maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan,
termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
Kelompok kedua yaitu Hiwalah
yang berdasarkan rukun Hiwalah, terdiri dari Hiwalah Muqayyadah dan
Hiwalah Muthlaqah. Hiwalah Muqayyadah adalah Hiwalah yang
terjadi dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal
Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya. Maka
dalam rukun Hiwalah, terdapat Muhal bih 2.
Hiwalah Muthlaqah adalah Hiwalah dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya
kepada Muhal alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya,
karena memang hutang muhal alaih tidak pernah ada padanya. Dengan
demikian, Hiwalah Muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang pada
praktik Perbankan, dimana tidak ada hutang muhal alaih kepadanya
sehingga didalam rukun hiwalahnya, tidak terdapat Muhal bih 2.
5.
Aplikasi Hiwalah dalam Institusi Keuangan
Dalam praktek perbankan
syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan
modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas
jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul,
bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan
kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah
seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang
akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas,
maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima
pembayaran dari pemilik proyek. Proses penagihan hutangnya dapat dilihat dalam flowchart berikut:
Saat ini, akad hiwalah juga
dapat diaplikasikan di Lembaga Keuangan Syari’ah, seperti anjak piutang maupun
debt transfer. BMT BIF Gedongkuning sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syari’ah
juga menggunakan akad hiwalah sebagai salah satu produk pembiayaan. Akad
hiwalah digunakan jika anggota mengajukan pinjaman untuk keperluan
membayar biaya Rumah Sakit, sekolah atau membayar hutang anggota di pihak lain
yang hampir jatuh tempo. Dalam pelaksanaan akad hiwalah tersebut, BMT
BIF Gedongkuning mengenakan fee.
Namun, dalam prakteknya di
BMT BIF Gedongkuning hanya dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak BMT BIF dan
pihak anggota, sehingga jika dilihat, praktek tersebut hampir sama dengan akad al-Qard
(hutang piutang).
Setelah melakukan
penelitian di BMT BIF Gedongkuning Yogyakarta tentang praktek hiwalah,
dapat diambil kesimpulan antara lain: dari segi subyek, akad hiwalah di
BMT BIF Gedongkuning adalah sah. Dimana anggota sebagai muhil, pihak lain
(Rumah Sakit, sekolah atau person) adalah muhal, BMT BIF Gedongkuning
adalah muhal ‘alaih. Dari segi sigah, tidak sah karena salah satu
dari tiga pihak tidak mengetahui adanya akad hiwalah.
Dengan melihat berbagai
transaksi modern saat ini yang menggunakan akad Hiwalah, ditemukan bahwa
telah terjadi perubahan model dalam proses akad Hiwalah. Dimana pada
model klasik berdasarkan definisi, Muhil menjadi hilang tanggung jawab
hutangnya karena muhal ’alaih yang meneruskan hutang muhil kepada
Muhal karena Muhal ’alaih telah memiliki hutang kepada muhil sebelumnya.
Namun dalam model modern
saat ini, Muhil masih bertanggungjawab terhadap hutangnya. Hanya pihak
piutangnya saja yang berpindah dari muhal ke muhal ’alaih. Dengan
membandingkan Gambar 3 dan Gambar 1, kita bisa melihat perbedaanya.
Kemudian contoh yang lain
adalah dalam praktek Credit Card, istilah yang pas (sesuai) adalah hiwalah
haqq, karena terjadi perpindahan menuntut tagihan (piutang) dari
nasabah kepada bank oleh merchant. Contoh ini pun sama dengan contoh
BMT, dimana dari segi sigah, transaksi ini tidak sah dikarenakan salah
satu dari tiga pihak tidak mengetahui adanya akad hiwalah.
6.
Berakhirnya Hiwalah
Apabila kontrak hiwalah
telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Jika muhal’alaih
bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama,
muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil.
Menurut Imam Maliki, jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan
kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh
kembali lagi menagih hutang kepada muhil.
C. Kafalah
1. Pengertian
Kafalah berasal dari kata كفل ــُـ (menanggung) merupakan
jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung
jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain
sebagai penjamin.
2.Dasar Hukum
Dasar hukum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam
al-Qur'an, al-Sunnah dan kesepakatan para ulama, sebagai berikut
a.Al-Qur’an
قَالُواْ نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ
وَلِمَن جَاء بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَاْ بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾
"Penyeru-penyeru itu berkata "Kami
kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh
bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." Surat Yusuf (12): 72)
b.AS-Sunnah
Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki
telah meninggal dunia dan kami telah memandikannya dengan bersih kemudian kami
kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan
menshalatkannnya?". Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai
hutang?". Kami menjuwab: "Ya, dua dinar." Rasulullah kemudian
pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah : "Dua dinar itu tanggung
jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah
menunaikan hak orang yang memberi hutang dan si mayit akan terlepas dari
tanggung jawabnya." Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya
beliau bertanya kepada Abu Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa
ia telah melunasinya. Rasulullah SAW. bersabda: "Sekarang kulitnya telah
sejuk." (H.R. Bukhari).
Rasulullah SAW. bersabda:
"Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus
membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh Ibnu
Hibban).
c. Ijma’
Ulama
Para ulama madzhab membolehkan akad
kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan
sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-pun. Kebolehan akad
kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk
menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang .
3. Rukun dan Syarat Kafalah
Adapun rukun kafalah sebagaimana yang
disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:
a.
Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat, berhak
penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan
tanggungan kafalah tersebut.
b.
Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.
c.
Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui
identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal
sehat.
d. Obyek jaminan (makful bih), merupakan
tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa uang, benda, maupun
pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat
(luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus
jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah
(diharamkan).
4.Jenis-Jenis Kafalah
a.
Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan
utang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk
memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
b.
Kafalah bi an-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal
ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical Personality yang dapat
memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.
c.
Kafalah bi at-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin
pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian
jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam
bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi
bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang
jasa/fee kepada nasabah tersebut.
d.
Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu
tertentu dan untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah
model ini dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan prestasi).
e. Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini
merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi
oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.
5.
Penerapan Kafalah Dalam Perbankan Syariah
Sebagaimana dimaklumi, bahwa kafalah (bank
garansi) adalah jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah untuk
memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan tidak
memenuhi kewajibannya.
Bank Garansi merupakan fasilitas non dana ( Non Funded Facility ) yang
diberikan Bank berdasarkan akad Kafalah bil Ujrah. Bank akan menerbitkan BG
sejumlah nilai tertentu yang dipersyaratkan oleh pihak penerima jaminan yang
merupakan klien/mitra bisnis/ counter part dari Nasabah Bank untuk
kepentingan transaksi / proyek tertentu yang akan dijalankan oleh Nasabah Bank.
Penggunaan dan macam Bank Garansi
- Diberikan kepada pemborong atau kontraktor untuk mengerjakan
proyek
- Diberikan untuk menjamin pembayaran (dapat berupa Standby
L/C )
Sedangkan Bank Garansi yang umum digunakan dalam rangka
proyek, untuk mendukung usaha konstruksi, adalah:
- Bid Bond / Tender Bond atau jaminan saat
mengikuti tender
- Advance
Payment Bond atau
jaminan uang muka
- Performance
Bond atau
jaminan pelaksanaan selama masa konstruksi
- Retention
Bond atau
jaminan pemeliharaan pasca konstruksi
Bank dalam
pemberian garansi ini, biasanya meminta setoran jaminan sejumlah tertentu
(sebagian atau seluruhnya) dari total nilai obyek yang dijaminkan. Di samping
itu, bank memungut biaya sebagai ju'alah dan biaya administrasi.
6.
Akhir Berlakunya
Bank Garansi
Garansi yang
berupa surat penjaminan oleh bank atas permiantaan nasabah bank sebagai yang
dijamin atas persetujuan pihak ketiga ( dalam hal ini adalah pemilik proyek )
akan berkahir bila masa berlaku yang telah disepakati sebelumnya oleh tiga
pihak tersebut telah berakhir atawa expired jika tidak masa
berlaku garansi jaminan yang diberikan bank akan berkahir ketika masa
pengerjaan atau pengelolaan proyek yang telah dirtencanakan antara pengelola
proyek dengan pemilik proyek atelah selesai dalam waktunya atau finished dan
menurut buku Konsep ,Produk dan Implementasi Operasional bank Syariah ada
dua hal lagi selain dua tadi yang menjadi alasan telah habisnya masa berlaku
garansi yang ditebritkan oleh bank .yaitu Pihak ketiga telah mengembalikan bank
garansi ,dan pihak ketiga melepaskan bank garansi .
Bank Garansi
dapat diperpanjang jika menurut pertimbangan pemilik proyek untuk menjamin
keselamatan dan terpeliharanya keberlangsungan pengerjaan proyek . Atau Nasabah
pun dapat memperpanjang bank garansi kjika merasa perlu untuk memastikan bahwa
pengerjaan proyek tersebut dapat mencapai kesepakatan yang telah dicanangkan
sebelumnya .
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari sekian banyak
akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah
termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah
dapat diterima. Pengertian Wakalah adalah:
- Perlindungan (al-hifzh)
- Pencukupan (al-kifayah)
- Tanggungan (al-dhamah)
- Pendelegasian (al-tafwidh)
Dalam akad Wakalah beberapa rukun dan syarat harus dipenuhi agar
akad ini menjadi sah:
- Orang yang mewakilkan
(Al-Muwakkil)
- Orang yang
diwakilkan. (Al-Wakil)
- Obyek yang
diwakilkan.
- Shighat
Akad Wakalah telah dapat
diterapkan dalam Institusi Keuangan Islam di Indonesia. Fatwa untuk akad ini
telah dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia NO:
10/DSN-MUI/IV/2000. Hal ini akan mendukung perkembangan produk-produk keuangan
Islam dengan akad Wakalah, yang mana akan mendukung pula perkembangan perbankan
dan investasi Syariah di Indonesia.
Akad hiwalah telah
dapat diterapkan dalam Institusi Keuangan Islam di Indonesia. Fatwa untuk akad
ini telah dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional Hal ini akan mendukung
perkembangan produk-produk keuangan Islam dengan akad Hiwalah, yang mana
akan mendukung pula perkembangan perbankan dan investasi Syariah di Indonesia.
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk
membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya.
Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi
resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas
kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan
piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan
menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian.
Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil
alih piutangnya.
Kafalah
berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Landasan akad kafalah ada 3:
a.Al-Qur’an
b.Hadits
c.Ijma’ Ulama
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Jalil, Ma’ruf. Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah Ash-Shahihah
Dewan Syariah
Nasional, Fatwa tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah, No.34
/DSN-MUI/IX/2002, Majelis Ulama Indonesia
Syafi’I
Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik., Jakarta:
Gema Insani
Adiwarman
A. Karim. 2000.Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema
Insani Press,
Agustianto. 2008. Hiwalah/Hawalah. Presentasi Universitas Indonesia,
IEF Trisakti, dan Universitas Paramadina. Jakarta
Fatimah, Siti. 2008.Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek
Hiwalah di BMT Bina Ihsanul Fikri (BIF) Gedongkuning Yogyakarta. Thesis UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
Karim Adiwarman A. 2006. Bank
Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan. RajaGrafindo Persada
0 komentar:
Posting Komentar