بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
A. Pendahuluan
Mengutip Naqvi (1994:71), bahwa komparasi Sistem Ekonomi
Islam dengan sistem ekonomi yang lain adalah bertujuan untuk menggambarkan
karakter dasar sistem Ekonomi Islam. Dalam konteks ini, lanjutnya, perlu
ditekankan empat hal: (1) alasan untuk membedakan Ekonomi Islam dari
Kapitalisme, Sosialisme dan Konsep Negara Kesejahteraan (the Welfare State)
dengan merujuk pada nilai-nilai etik Islam adalah bermaksud untuk menyusun superioritas
Islam atas rival-rivalnya berdasarkan kacamata seorang muslim yang
refresentatif, yaitu orang yang memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai
sebuah sistem ekonomi yang serasi dengan keyakinan etiknya; (2) hal itu hanya
ilustrasi lain yang menunjukkan bahwa sebuah sistem teoritis yang
mengkombinasikan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan nilai-nilai moral
mungkin sekali lebih superior ketimbang sistem yang hanya membanggakan
positivisme sempit; (3) membuat suatu komparasi bukan berarti pengutukan
besar-besaran terhadap Sosialisme atau Kapitalisme [Konvensional]. Kedua system
ini juga telah bekerja dengan 'kesuksesan' yang harus dipelajari oleh sistem
ekonomi Islam saat ini—misalnya dari visi mereka yang tajam mengenai
perkembangan ekonomi dan sosial; dari sosialisme mengenai penekanan terhadap
keadilan social dan distribusi; dari kapitalisme tentang penekanan terhadap
akumulasi dan pertumbuhan dalam kerangka kebebasan individu; dari sistem Negara
Kesejahteraan mengenai pengkombinasiannya atas pertumbuhan ekonomi, keadilan,
kebebasan individu dan tanggungjawab sosial; dan (4) dengan absennya kenyataan
sistem ekonomi Islam dalam waktu yang relatif panjang komparasi tersebut harus
dilakukan dengan penuh kehati-hatian.[1]
Dengan berpijak pada beberapa catatan penting Naqvi di
atas, dalam makalah ini akan sedikit diungkap beberapa perbedaan fundamental
konsep keadilan distribusi antara sistem ekonomi konvensional, didahului dengan
uraian singkat pengertian distribusi, pendapatan dan kekayaan, dan diakhiri
dengan kesimpulan dan penutup.
B.PEMBAHASAN
1. Pengertian Distribusi
Distribusi atau pembagian adalah klasifikasi
pembayaran-pembayaran berupa sewa, upah, bunga modal dan laba, yang berhubungan
dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh tanah, tenaga kerja, modal dan
pengusaha-pengusaha. Ia adalah proses penentuan harga yang dipandang dari sudut
si penerima pendapatan dan bukanlah dari sudut si pembayar biaya-biaya.
Distribusi juga berarti sinonim untuk pemasaran (marketing). Kadang-kadang ia
dinamakan sebagai functional distribution.[2]
Namun demikian, fikih klasik nampaknya hanya
menerminologikan tauzii dalam kerangka pengertian etimologis saja. Secara ad
hoc, belum ada pengertian tauzii yang cukup relevan dengan terma
distribusi dalam ekonomi teoritika modern.[3]
Hingga kemudian, sebagian ekonom muslim juga menulis
tentang ekonomi islami dan melakukan "adaptasi" terhadap
terminologi-terminologi ekonomi konvensional, seperti yang dilakukan Abdul
Hamid Ghazali (1989 : 79)[4],
Muhammad Afar (1996: 32)[5],
Umer Chapra (2000: 99)[6],
dan lain-lain. Barangkali inilah pandangan mainstream ekonom muslim pada
umumnya karena bagi mereka konsentrasi teoritis ilmu ekonomi manapun pasti akan
membahas aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Belakangan
terminologi redistribusi (I’âdat at Tauzii’) juga digunakan oleh
sebagian ekonom muslim dengan berkaca pada adanya mekanisme zakat, sedekah,
kafarat, belanja wajib yang diterapkan dalam Islam.
1.1 Distribusi
Pendapatan dalam Islam dan Sistem Ekonomi Lain
Al Jarhi dan Zarqa (2004) berpendapat bahwa ilmu ekonomi
memberikan perhatian yang besar terhadap ranah distribusi dalam pengertian
tujuan penentuan bagian setiap faktor produksi (determining the share of
each factor of production) melalui proses yang terjadi dalam market
exchange. Namun kurang memperhatikan ranah redistribusi dalam pengertian
penggapaian level tertentu dari keadilan sosial dan equitas. [7]
Dalam ekonomi kapitalis, misalnya, kepemilikan harta
pribadi diakui juga tidak ada kebebasan yang sempurna, sebagian dapat
memperoleh kebebasan lebih dari yang lain. Di samping itu adanya trade-off
antara equality dan efisiensi[8]
dalam alokasi sumber daya guna memaksimalkan output dan kesejahteraan sosial
mengakibatkan adanya distribusi yang tidak merata.[9]
Efesiensi alokasi dalam ekonomi konvensional hanya menjelaskan bahwa bila semua
sumber daya yang ada habis teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai,
namun tidak mengatakan apapun perihal apakah alokasi tersebut adil.
1.2 Konsepsi
umum Fikih Islam mengenai distribusi dan redistribusi
Diskursus distribusi sangat menyangkut hak-hak indidivu
dalam masyarakat. Hak-hak inilah, baik pada individu atau properti, yang
menyediakan aturan dasar bagi karakter sebuah ekonomi dan selanjutnya
menentukan bagaimana distribusi atas pendapatan dan kekayaan dilakukan.
Sehingga konsepsi hak kepemilikan dan hak kebebasan sangat mendasar untuk
menentukan dan mencapai pola distribusi yang diinginkan.
Pada dasarnya distribusi pendapatan dan kekayaan
berdasarkan maslahat dan batas waktu (al hafz), sementara
distribusi pendapatan dilandasi oleh produksi, barter, dan
pertimbangan-pertimbangan pasar. Sedangkan redistribusi berlandaskan pada
pertimbangan keagamaan, moral, keluarga dan sosial (atau biasanya disebut
transformasi sosial)[10].
Zarqa dan Al Jarhi (2005) lebih jauh menjelaskan bahwa redistribusi dilandasi
oleh prinsip utilitarian islam, penebusan doa (atonement for sins),
sebagai sebuah konsesi kemunduran, dan pergantian (exchange) abadi
antara Tuhan dan hambanya.
Melalui analisis induktif terhadap hukum Islam, Qal’aji
(2000:80) memaparkan bahwa Sumber Daya Alam yang merupakan sumber kekayaan
sesungguhnya milik Allah. Namun kepemilikan Tuhan ini diamanahkan kepada
manusia dengan mekanisme kerja. SDA ini pada kenyataannya ada yang telah
dimiliki manusia dan ada yang belum bertuan. SDA yang telah bertuan dianggap
sebagai aset. Qalaji menskemakan hal ini sebagai berikut.
Gambar 3
menunjukkan skema umum distribusi Sumber Daya Alam.
Secara garis besar, redistribusi kekayaan dan pendapatan
dalam Islam dikenal melalui tujuh cara: (1) Zakat; (2) Sedekah; (3) Belanja
wajib; (4) Kafarat (5) Nadzar; (6) Sembelihan; dan (7) Insentif Negara.
Yang pertama, zakat yang diwajibkan hanya atas
orang-orang kaya dengan ketentuan telah mencapai nisab. Adapun target
redistribusinya setidaknya meliputi tiga pihak;
(1) mereka yang memerlukan materi yaitu orang-orang fakir, miskin dan
yang berhutang; (2) otoritas syariah Islam, melalui para pejuang di jalan
Allah; dan (3) Pegawai pada lembaga zakat. Yang kedua, sedekah atau
kegiatan filantrofi yang dianjurkan oleh Islam. Dalam hal ini, Rasulullah Saw.
pernah bersabda, “Mâ naqasha mâlun min shadaqatin”[11]
yang menyiratkan bahwa setidaknya nilai harta tidak akan berkurang bila
disedekahkan, di samping itu fungsi sedekah juga dianggap sebagai tindak
pencegahan terhadap instabilitas/bala bencana berdasakan pada sabda beliau yang
lain, “Bâdirû bi as shadaqati fa inna al balâ lâ yatakhathâhâ”.[12]
Yang Ketiga, belanja halal yang wajib baik dikarenakan perkawinan
seperti belanja untuk isteri atau dikarenakan kebutuhan seperti belanja yang
dikeluarkan untuk keluarga/kerabat faqir yang diwarisi atau untuk orang yang
tidak/kehabisan bekal dalam perjalanan.[13]
Yang keempat, kafarat atau denda yang bentuknya bisa pembebasan hamba
sahaya (untuk denda membunuh, zhihar, dan membatalkan sumpah); dalam bentuk
memberikan makanan bagi orang fakir (untuk denda membatalkan sumpah, zihar bila
tak mampu puasa dua bulan berturut-turut, dan denda melanggar larangan Ihram);
dan dalam bentuk pemberian pakaian yang laik bagi orang fakir (denda pembatalan
sumpah). Yang kelima, nadzar yaitu dalam kasus seseorang yang mewajibkan
dirinya untuk melakukan perbuatan mubah karena mengagungkan Allah misalnya
dengan nadzar (‘komitmen’) untuk bersedekah, dll. Yang keenam, daging
sembelihan pada hari idul Adha. Yang ketujuh, insentif Negara yang
diberikan oleh pemerintah pada saat distribusi pendapatan dan kekayaan tidak
adil dan adanya disparitas yang sangat besar antara yang kaya dan yang miskin.[14]
2.MAKNA DISTRIBUSI DAN TUJUANNYA
2.1 Makna Distribusi dan
Urgensinya
Adapun makna distribusi dalam ekonomi islam sangatlah
luas, yaitu mencakup pengaturan kepemilikan unsur-unsur produksi dan
sumber-sumber kekayaan. Dimana islam memperbolehkan kepemilikan umum dan
kepemilikan khusus, dan meletakkan masing-masingnya kaidah-kaidah untuk
mendapatkan dan mempergunakannya, dan kaidah – kaidah untuk warisan, hibah dan
wasiat. Sebagaimana ekonomi Islam juga memiliki politik dalam distibusi
pemasukan, baik antar unsur – unsur produksi maupun antara individu masyarakat
dan kelompok – kelompoknya, disamping pengembalian distribusi dalam system
jaminan sosial yang disampaikan dalam ajaran islam.
Karena memperhatikan bahayanya pendistribusian harta
yang bukan pada haknya dan terjadinya penyelewengan distribusi pada jalannya
yang benar ini, maka islam mengutamakan tema distribusi dengan perhatian besar
yang nampak dalam beberapa fenomena, dimana yang terpenting adalah sebagai
berikut :
1)
Banyaknya
nash Al Quran dan hadist Nabawi yang mencakup tema distribusi dengan
menjelaskan system manajemennya, himbauan komitmen dan cara-caranya yang
terbaik dan memperingatkan penyimpangan dari system yang benar.
2)
Syariat
islam tidak hanya menetapkan prinsip – prinsip umum bagi distribusi dan
pengembalian distribusi, namun juga merincikan dengan jelas dan lugas cara
pendistribusian harta dan sumber-sumbernya.
3)
Banyaknya
dan komperhensifnya system dan cara distribusi yang ditegakkan dalam islam,
baik dengan cara pengharusan (wajib) maupun yang secara suka rela (sunnah)
4) Al Qur’an menyebutkan secara tekstual dan
eksplisit tentang tujuan peringatan perbedaan di dalam kekayaan, dan
mengantisipasi pemusatan harta dalam kalangan minoritas.
Dapat kita lihat
pada Firman Allah QS Al-Hasyr:
7
B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾ÏÎ!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 w tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
“ Apa saja harta rampasan
(fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal
dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumannya.”
5)
Dalam
fikih ekonomi Umar Radhiyallahu Anhu, tema distribusi mendapat porsi besar yang
dijelaskan dalam kepemimpinannya, yakni dalam perkataannya, “ Sesungguhnya aku
telah meninggalkan kepada kalian dua hal yang akan selalu kalian dalam kebaikan
selama kalian komitmen kepada keduanya, yaitu adil dalam hukum, dan adil dalam
pendistribusian.”
2.2 Tujuan Distribusi
Dalam Ekonomi Islam
Ekonomi Islam datang dengan system distribusi yang
merealisasikan beragam tujuan yang mencakup berbagai bidang kehidupan, dan
mengikuti politik terbaik dalam merealisasikan tujuan – tujuan tersebut. Secara
umum dapat kami katakana bahwa system distribusi ekonomi dalam ekonomi islam
mempunyai andil bersama system dan politik syariah lainnya-dalam merealisasikan
beberapa tujuan umum syariat islam. Dimana tujuan distribusi dalam ekonomi
islam di kelompokkan kepada tujuan dakwah, pendidikan, sosial dan ekonomi.
Berikut ini hal yang terpenting kedalam tujuan tersebut adalah :
Pertama : Tujuan Dakwah
Yang dimaksud dakwah disini adalah dakwah kepada islam
dan menyatukan hati kepadanya. Diantaranaya contoh yang paling jelas adalah
bagian muallaf di dalam zakat, dimana muallaf itu adakalnya orang kafir yang
diharapkan keislamannya atau dicegah keburukannya, atau orang islam yang di
harapkan kuat keislamannya. Sebagaimana system distribusi dalam ghanimah dan fa’i
juga memiliki tujuan dakwah yang jelas.
Pada sisi lain, bahwa pemberian zakat kepada muallaf juga
memiliki dampak dakwah terhadap orang yang menunaikan zakat itu sendiri.
Sebab Allah berfirman pada Firman Allah QS Ali Imran: 140
bÎ) öNä3ó¡|¡ôJt Óyös% ôs)sù ¡§tB tPöqs)ø9$# Óyös% ¼ã&é#÷VÏiB 4 y7ù=Ï?ur ãP$F{$# $ygä9Ír#yçR tû÷üt/ Ĩ$¨Y9$# zNn=÷èuÏ9ur ª!$# úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä xÏGtur öNä3ZÏB uä!#ypkà 3 ª!$#ur w =Ïtä tûüÉKÎ=»©à9$# ÇÊÍÉÈ
“Jika kamu (pada perang
Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar)
mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami
pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah
membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian
kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada' dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang zalim,”
Kedua : Tujuan Pendidikan
Di antara tujuan pendidikan dalam distribusi adalah
seperti yang di sebutkan dalam firman Allah QS At-Taubah : 103
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
[658]
Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda
[659]
Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka
dan memperkembangkan harta benda mereka.
Secara umum, bahwa distribusi dalam perspektif ekonomi
islam dapat mewujudkan beberapa tujuan pendidikan, dimana yang terpenting
adalah sebagai berikut :
a)
Pendidikan
terhadap akhlak terpuji, seperti suka memberi, berderma dan mengutamakan orang
lain.
b)
Mensucikan
dari akhlak tercela, seperti kikir, loba dan mementingkan diri sendiri (egois).
Ketiga : Tujuan Sosial
Tujuan sosial terpenting dalam distribusi adalah sebagai
berikut :
1.
Memenuhi
kebutuhan kelompok yang membutuhkan, dan menghidupkan prinsip solidaritas di
dalam masyarakat muslim. Dapat di lihat pada Firman Allah QS Al Baqarah:273
Ïä!#ts)àÿù=Ï9 úïÏ%©!$# (#rãÅÁômé& Îû È@Î6y «!$# w cqãèÏÜtGó¡t $\/ö|Ê Îû ÄßöF{$# ÞOßgç7|¡øts ã@Ïd$yfø9$# uä!$uÏZøîr& ÆÏB É#ÿyèG9$# NßgèùÌ÷ès? öNßg»yJÅ¡Î/ w cqè=t«ó¡t Z$¨Y9$# $]ù$ysø9Î) 3 $tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9öyz cÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ íOÎ=tæ ÇËÐÌÈ
“(Berinfaqlah) kepada
orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat
(berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena
memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat
sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah
Maha Mengatahui.”
2.
Menguatkan
ikatan cinta dan kasih sayang diantara individu dan kelompok di dalam
masyarakat
3.
Mengikis
sebab – sebab kebencian dalam masyarakat, dimana akan berdampak pada
terealisasinya keamanan dan ketentraman masyarakat, sebagai contoh bahwa
distribusi yang tidak adil dalam pemasukan dan kekayaan akan berdampak adanya
kelompok dan daerah miskin, dan bertambahnya tingkat kriminalitas yang
berdampak pada ketidak tentraman.
4.
Keadilan
dalam distribusi mencakup
a)
Pendistribusian
sumber –sumber kekayaan
b)
Pendistribusian
pemasukan diantara unsure – unsure produksi
c)
Pendistribusian
diantara kelompok masyarakat yang ada, dan keadialan dalam pendistribusian
diantara generasi yang sekarang dan generasi yang akan datang.
Keempat : Tujuan Ekonomi
Distribusi dalam ekonomi islam mempunyai tujuan – tujuan
ekonomi yang penting, dimana yang terpenting diantaranya dapat kami sebutkan
sperti berikut ini :
1.
Pengembangan
harta dan pembersihannya, karena pemilik harta ketika menginfakkan sebagian
hartanya kepada orang lain, baik infak wajib maupun sunnah, maka demikian itu
akan mendorongnya untuk menginvestasikan hartanya sehingga tidak akan habis
karena zakat.
2.
Memberdayakan sumber daya manusia yang menganggur dengan
terpenuhi kebutuhannya tentang harta atau persiapan yang lazim untuk
melaksanakannya dengan melakukan kegiatan ekonomi. Pada sisi lain, bahwa system
distribusi dalam ekonomi islam dapat
menghilangkan faktor – faktor yang menghambat seseorang dari andil dalam
kegiatan ekonomi ; seperti utang yang membebani pundak orang – orang yang
berhutang atau hamba sahaya yang terikat untuk merdeka. Karena itu Allah
menjadikan dalam zakat bagian bagi orang-orang yang berhutang dan bagian bagi
hamba sahaya.
3.
Andil
dalam merealisasikan kesejahteraan ekonomi, di mana tingkat kesejahteraan
ekonomi berkaitan dengan tingkat konsumsi. Sedangkan tingkat konsumsi tidak
hanya berkaitan dengan bentuk pemasukan saja, namun juga berkaitan dengan cara
pendistribusiannya di antara individu masyarakat. Karena itu kajian tentang
cara distribusi yang dapat merealisasikan tingkat kesejahteraan ekonomi terbaik
bagi umat adalah suatu keharusan dan keniscayaan.
Dapat kita lihat
pada QS Al-Baqarah : 265
ã@sWtBur tûïÏ%©!$# cqà)ÏÿYã ãNßgs9ºuqøBr& uä!$tóÏGö/$# ÅV$|ÊötB «!$# $\GÎ7ø[s?ur ô`ÏiB öNÎgÅ¡àÿRr& È@sVyJx. ¥p¨Yy_ >ouqö/tÎ/ $ygt/$|¹r& ×@Î/#ur ôMs?$t«sù $ygn=à2é& Éú÷üxÿ÷èÅÊ bÎ*sù öN©9 $pkö:ÅÁã ×@Î/#ur @@sÜsù 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya Karena
mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun
yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu
menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka
hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.”
Yang artinya dapat dimaknakan bahwasanya orang – orang
yang membelanjakan hartanya karena keridhoaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka kepada iman dan ibadah – ibadah yang lain, sebagai bentuk pelatihan
kepadanya, sehingga setiap manusia terus tetap bertakwa kepada Allah SWT.
2.3 DISTRIBUSI PENDAPATAN.
Konsep dasar kapitalis dalam permasalahan distribusi
adalah kepemilikan private (pribadi). Makanya permasalahan yang timbul
adalah adanya perbedaan mencolok pada kepemilikan, pendapatan, dan harta.
Milton H. spences menulis dalam bukunya contemporary economics: “
Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak
milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi dan
pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif
”.
Sedangkan sosialis lebih melihat kepada kerja sebai basic
dari distribusi pendapatan. Setiap kepemilikan hanya bias dilahirkan dari buah
kerja seseorang, oleh sebab itu, adanya perbedaan dalam kepemilikan tidak
disebabkan oleh kepemilikan pribadi tapi lebih kepada adanya perbedaan pada
kapabilitas dan bakat setiap orang. Briton menyebutkan bahwa “ sosiolisme dapat
diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang
bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan
menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis yang menyangkut hidup
orang banyak ”.
Dalam Islam, kebutuhan memang menjadi alasan untuk
mencapai pendapatan minimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup yang baik
(nisab) adalah hal yang paling mendasari dalam system distribusi – redistribusi
kekayaan, setelah itu baru dikaitkan dengan kerja dan kepemilikan pribadi.
Harus dipahami bahwa islam tidak menjadikan complete income equality
untuk semua umat sebagai tujuan utama dan paling akhir dari system distribusi
dan pembangunan ekonomi. Namun demikian, upaya untuk mengeliminasi kesenjangan
antar pendapatan umat adalah sebuah keharusan.
Proses redistribusi pendapatan dala Islam mengamini
banyak hal yang berkaitan dengan moral endogeneity, signifikansi dan
batasan-batasan tertentu tertentu, di antaranya:
a)
Sebagaimana
utilitarianisme, mempromosikan “greatest good for greatest number of people”
dengan “good” atau “utility” diharmonisasikan dengan pengertian
halal haram, peruntungan manusia dan peningkatan untility manusia adalah
tujuan utama dari tujuan pembangunan ekonomi.
b)
Sebagaimana
leberitarian dan Marxism, pertobatan dan penebusan dosa adalah salah satu hal
yang mendasari diterapkannya proses redistribusi pendapatan. Dalam aturan main
syariah akan ditemukan sejumlah instrumen yang mewajibkan seorang muslim untuk
mendistribusikan kekayaannya sebagai akibat melakukan kesalahan (dosa).
c)
Sistem
redistribusi diarahkan untuk berlaku sebagai factor pengurang dari adanya pihak
yang merasa dalam keadaan merugi atau gagal. Kondisi seperti ini hampir bias
dipastikan berlaku di setiap komunitas.
d)
Mekanisme
redistribusi berlaku secara istimewa, karena walaupun pada realitasnya distribusi
adalah proses transfer kekayaan searah, namun pada hakikatnya tidak demikian.
1. Distribusi Pendapatan Dalam
Rumah Tangga
Mengingat nilai-nilai Islam merupakan fakror endogen
dalam rumah tangga seorang muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses
aktifitas ekonomi di dalamnya, harus dilandasi legalitas halal haram mulai
dari: produktivitas,hak kepemilikan, konsumsi, transaksi dan investasi.
Aktivitas yang terkait dengan aspek hokum tersebut kemudian menjadi muara
bagaimana seorang muslim melaksanakan proses distribusi pendapatannya.
Distribusi pendapatan dapat konteks rumah tangga akan
sangat terkait dengan terminology shadaqoh. Pengertian shadaqoh
di sini bukan berarti sedekah dalam konteks pengertian baghasa Indonesia.
Karena shadaqoh dalam konteks terminologi Al-Qur’an dapat dipahami dalam
dua aspek, yaitu
Pertama : Instrumen shadaqoh
wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang muslim) adalah:
1.
Nafaqah: Kewajiban tanpa syarat dengan menyediakan semua kebutuhan pada
orang-orang terdekat.
2.
Zakat: Kewajiban seorang muslim untuk menyisihkan sebagian harta
miliknya, untuk didistribusikan kepada kelompok tertentu (delapan asnaf).
3.
Udhiyah: Qurban binatang ternak pada saat hari tasyrik perayaan Idhul Adha.
4.
Warisan: pembagian asset kepemilikan kepada orang yang ditinggalkan setelah
meninggal dunia.
5.
Musaadah: Memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami musibah.
6.
Jiwar: Bantuan yang diberikan berkaitan dengan urusan bertetangga.
7.
Diyafah: Kegiatan memberikan jamuan atas tamu yang dating.
Kedua : Instrumen shodaqoh
nafilah (sunah dan khusus dikenakan bagi orang muslim) adalah:
1.
Infaq: Sedekah yang dapat diberikan kepada pihak lain jika kondisi
keuangan rumah tangga muslim sudah berada di atas nisab.
2.
Aqiqah: Memotong seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing
untuk anak laki-laki yang baru lahir.
3.
Wakaf: Memberi bantuan atas kepemilikannya untuk kesejahteraan masyarakat
umum, asset yang diwakafkan bisa dalam bentuk asset materi kebendaan ataupun
asset keuangan.
Ketiga: Instrumen term had/
hudud (hukuman)
1.
Kafarat: Tembusan terhadap dosa yang dilakukan oleh seorang muslim, misal
melakukan hubungan suami istri pada siang hari pada bulan Ramadhan.
2.
Dam/diyat: tebusan atas tidak dilakukannya suatu syarat dalam pelaksanaan
ibadah, seperti tidak melaksanakan puasa tiga hari pada saat melaksanakan
ibadah haji, dendanya setara dengan seekor kambing.
3.
Nudzur: perbuatan untuk menafkahkan atas pengorbanan sebagian harata yang
dimilikinya untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, atas keberhasilan pencapaian
sesuatu yang menjadikan keinginannya.
Berbeda dengan ajaran ekonomi mana pun, ajaran Islam
dalam mendistribusikan pendapatan rumah tangga mengenal skala prioritas yang
ketat. Bahkan berkaitan dengan kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan
sejumlah persyaratan (karakteristik khusus) pada aset wajib zakat. Dari
kepemilikan aset yang dimiliki, pertama yang harus di distribusikan
(dikeluarkan) dari jumlah seluruh asset adalah kebutuhan keluarga, dan
dahulikan membayar hutang.
Kemudian dari sisa aset yang ada, yang harus
diprioritaskan adalah distribusi melalui instrumen zakat. Namun harus dilihat
terlebih dahulu karakter dari sisa asset tersebut, ada 3 yaitu:
1.
Apakah
asset itu di atas nisab.
2.
Keopemilikan
sempurna.
3.
sudah
genap satu tahun kepemilikan dan potensi pruduktif.
Setiap instrumen yang ditawarkan Islam dalam memecahkan
permasalahan ketidaksetaraan pendapatan (inequality income) antar rumah
tangga, pada dasarnya dapat disesuaikan dengan daur hidup pencarian kekayaan
manusia secara umum, yaitu:
Pertama. Accumulation Phase (Fase Akumulasi), yaitu tahap awal
sampai pertengahan karier. Pada fase ini individu mencoba meningkatkan asetnya
(kekayaan) untuk dapat memenuhi kebutuhan jangka pendek. Secara umum,
pendapatan bersih dari individu dalam fase ini tidaklah besar. Untuk itu,
ekonomi rumah tangga dapat menfokuskan pengeluarannya khusus untuk meningkatkan
produktivitasnya dana memenuhi kebutuhannya.
Kedua,
Consolidation Phase (fase Konsolidasi), Individu yang berada dalam fase ini biasanya telah melalui pertengahan
perjalanan kariernya,. Dalam fase ini biasanya pendapatan melebihi pengeluaran.
Mereka yang ada di fase ini dapat meninvestasikan dananya untuk tujuan jangka
panjang. Untuk itu, pada setiap kelebihan asetnya, individu dapat melakukan
kewajiban zakat dan instrument-intrumen lainnya yang lebih terkait kepada
perayaan rasa syukur.
Ketiga, Spending Phase. Fase
ini secara umum dimulai pada saaat individu memasuki masa pension. Kebutuhan
akan biaya hidup harian mereka peroleh dari investasi yang mereka lakukan
lakukan pada dua fase sebelumnya. Pada fase ini, kewajiban untuk memberikan
nafkah keluarga akan berkurang, seiring dengan semakin dewasanya anak yang
menjadi tanggungan.
2. Distribusi Pendapatan Dalam
Negara
Prinsip prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai
moral Islam mencanangkan kepentingan distribusi pendapatan secara adil. Para
sarjana muslim banyak membicarakan objektivitas perekonomian berbasis Islam
pada level Negara terkait dengan, diantaranya: penjaminan level minimum
kehidupan bangsa bagi mereka yang berpendapatan di bawah kemampuan. Negara
wajib bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan materi bagi ligkungan social
maupun individu dengan pemafaatan sebesar-besarnya atas sumber daya yang
tersedia. Karena itu negara wajib mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan
stabilitas ekonomi, kesetaraan, ketenagakerjaan, pembangunan social ekonomi,
dan lain sebagainya.
Kemudian dilanjutkan dengan model ekonomi politik dalam
pengambilan keputusan dan kebikjakan pemerintah yang berdampak secara langsung
dan tidak langsung kepada distribusi pendapatan, seperti anggaran pendapatan
dan belanja Negara, kebijakan fiskal dan moneter dengan basis hipotesis kepda
ketidaksempurnaan pasaran teori-teori, yang berkaitan dengan moral hazard
dan adverse selection.
a.
Pengelolaan
Sumber Daya
Dalam pengelolaan sumberdaya yang tersedia, pemerintah
(Negara) harus mampu mendistribusikan secara baik atas pemanfaatan tanah/lahan
dan industri. Ajaran Islam memberikan otoritas kepada pemerintah dalam
menentukan kebijakan penggunaan lahan untuk kepentingan Negara dan publik (hak
hima), distribusi tanah (hak iqta) kepada sector swasta, penarikan pajak,
subsidi, dan keistimewaan non monetary lainnya yang legalitasnya
dikembalikan kepada aturan syari’ah. Semua keistimewaan tersebut harus
diarahkan untuk memenuhi kepentingan public dan pembebasan kemiskinan.
Dalam negara Islam, kebijaksanaan
fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang
dijelaskan Imam al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap
menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan kepemilikan. Pada masa kenabian dan kekhalifahan setelahnya,
kaum Muslimin cukup berpengalaman dalam
menerapkan beberapa instrumen sebagai
kebijakan fiskal, yang diselenggarakan pada lembaga baitul maal (national
treasury).
Dari berbagai macam instrumen, pajak diterapkan atas individu (jizyah
dan pajak khusus Muslim), tanah kharaj, dan ushur (cukai)
atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum
Muslimin, sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.
Pada saat perekonomi,an sedang krisis yang membawa dampak terhadap keuangan
negara karena sumber-sumber penerimaan terutama pajak merosot seiring dengan
merosotnya aktivitas ekonomimaka kewajiban-kewajiban tersebut beralih kepada
kaum Muslimin. Semisal krisis ekonomi yang menyebabkan warga negara jatuh
miskin otomatis mereka tidak dikenai beban pajak baik jizyah maupun
pajak atas orang Islam, sebaliknya mereka akan disantuni negara dengan biaya
yang diambil dari orang-orang Muslim yang kaya.
Dalam Islam kita kenal adanya konsep
zakat, infaq, sadaqah, wakaf dan lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan
sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam
guna diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah ditetapkan dalam
syariah Islam. Sementara Infaq, Sadaqah, Wakaf merupakan pengeluaran ‘sukarela’
yang juga sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan
unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur tersebut ada
yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela seperti
sadaqah, infaq dan waqaf. Pembagian dalam kegiatan ‘wajib’ dan ‘sukarela’ ini
khas di dalam sistem ekonomi Islam, yang membedakannya dari sistem ekonomi
pasar. Dalam sistem ekonomi pasar tidak ada ‘sektor sukarela’
·
Zakat
Konsep fikih zakat
menyebutkan bahwa sistem zakat berusaha untuk mempertemukan pihak surplus
Muslim dengan pihak defisit Muslim. Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi
pemerataan pendapatan antara surplus dan deficit Muslim atau bahkan menjadikan
kelompok yang deficit (mustahik) menjadi surplus (muzzaki). Dalam
Qur’an diperkirakan terdapat 30 ayat
yang berkaitan dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat
sering muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya kegiatan berzakat dalam Islam.
perhitungan-perhitungan
potensi zakat yang ada saat ini masih bersifat perkiraan yang kasar. Sebagian besar perhitungan yang telah
dilakukan hanya sebatas pada perhitungan potensi minimal. Angka terkecil yang diperoleh dari beberapa
perhitungan yang telah dilakukan, adalah sebesar Rp. 5.1 triliun (informasi
dari Dewan Syariah Dompet Dhuafa, Panduan Zakat Praktis, tahun 2004). Hingga
saat ini belum ada penelitian yang
secara spesifik menghitung potensi masing-masing jenis zakat. Di sisi lain realisasi pengumpulan zakat
masih jauh dari potensi yang ada.
Nisab adalah angka
minimal aset yang terkena kewajiban zakat. Dalam konteks zakat penghasilan,
maka nisabnya adalah penghasilan minimal perbulan yang membuat seseorang
menjadi wajib zakat (muzakki). Untuk menentukan nisab, penulis menyandarkan
pada pendapat Didin Hafidhuddin yang mengatakan bahwa zakat profesi dapat
dianalogikan pada dua hal sekaligus, yaitu pada zakat pertanian dan pada zakat
emas dan perak. Dari sudut nisab
dianalogikan pada zakat pertanian, yaitu 5 wasaq atau senilai 653 kg gabah
kering/gandum atau 522 kg beras (pada tahun 2004 senilai Rp 1.460.000). Artinya
seseorang yang memiliki penghasilan sebesar Rp 1.460.000 sudah merupakan wajib
zakat (muzakki) dan zakatnya dikeluarkan pada saat menerima gaji.
Setelah dilakukan
analisis data untuk tahun 2004, maka diperoleh hasil bahwa dari jumlah total
tenaga kerja di Indonesia yang berjumlah 93.722.040 orang, terdapat 16,91% atau
15.847.072 orang yang memiliki penghasilan lebih besar dari Rp. 1.460.000,-
perbulannya. Sementara dari jumlah total
penghasilan tenaga kerja di Indonesia yang sebesar Rp. 1.302.913.160.962.190,-,
terdapat 43% atau Rp. 557.954.119.104.025,- merupakan jumlah total penghasilan
tenaga kerja yang berpenghasilan lebih besar dari Rp. 1.460.000,-
perbulannya. Dengan asumsi rasio
penduduk jumlah muslim (88%) sama dengan rasio tenaga kerja muslim di
Indonesia, maka diketahui zakat penghasilan/profesi yang dapat digali dari
tenaga kerja muslim di Indonesia dalam satu tahun adalah sebesar Rp.
12.274.990.620.289, berdasarkan data tahun 2004.
Bila dibandingkan
dengan APBN 2004, potensi di atas sungguh sangat bermakna. Pembiayaan untuk
pembangunan pada sub sektor kesejahteraan sosial “hanya” sebesar Rp. 1,7
triliun, dan sub sektor kesehatan sebesar Rp. 5,3 triliun. Artinya, dengan potensi zakat penghasilan
yang nilainya sekitar Rp 12,3 triliun itu, banyak hal dapat dilakukan asalkan
masih dalam koridor delapan asnaf (golongan) yang berhak menerima dana zakat.
Realisasi zakat yang dikeluarkan oleh masyarakat muslim di Indonesia belum
dapat diketahui secara pasti, mengingat tradisi masyarakat kita dalam
membayarkan zakatnya banyak yang secara langsung dibayarkan kepada
mustahik. Dari hasil survei PIRAC 2004
hanya sebesar 12,5% masyarakat muslim yang menyalurkan zakatnya melalui lembaga
resmi seperti Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau yayasan
amal lainnya. Adapun data yang tercatat
pada Departemen Agama, realisasi zakat
tahun 2004 sebesar Rp 199,3 miliar.
Jika
dibandingkankan antara realisasi zakat yang terhimpun pada berbagai lembaga
pengelola zakat dengan potensi zakat profesi, ternyata realisasinya hanya
sekitar 1,6 persen dari potensi. Ini bisa dipahami, karena apabila dibandingkan
dengan zaman Rasulullah maka ada beberapa sistem manajemen yang tidak dilakukan
oleh pengelola zakat pada saat ini. Pada
zaman Rasululah, sistem manajemen zakat yang dilakukan oleh amil dibagi menjadi
beberapa bagian, yaitu:
• Katabah, petugas untuk
mencatat para wajib zakat.
• Hasabah, petugas untuk
menaksir, menghitung zakat.
• Jubah, petugas untuk menarik,
mengambil zakat dari para muzakki.
• Kahazanah, petugas untuk
menghimpun dan memelihara harta zakat.
• Qasamah, petugas untuk
menyalurkan zakat kepada mustahik.
b.
Kompetisi
Pasar dan Redistribusi Sistem
Perspektif teori menyatakan bahwa pasar adalah salah
satu mekanisme yang bisa dijalankan oleh manusia untuk mengatasi
problem-problem ekonomi yang terdiri atas: produksi, konsumsi, dan distribusi.
Keberatan terbesar terdapat mekanisme pasar adalah bahwa pasar tak lebih
sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa (invector) untuk mengukuhkan
dominasinya terhadap kelas yang tertindas (labor).
Dari kacamata ekonomi pasar Islam, mekanisme pasar
menekan seminimal mungkin mungkin peranan pemerintah (command economics).
Pembenaran atas diperbolehkan pemerintah masuk sebagai pelaku pasar (intervensi)
hanyalah jika pasar tidak dalam keadaan sempurna, dalam arti ada
kondisi-kondisi yang menghalangi kompetisi yang fair terjadi atau distribusi
yang tidak normal atau dengan kata lain mengupayakan tidak terjadinya market
failure. Sebagai contoh klasik dari kondisi market failure antara
lain: barang publik, eksternalitas, (termasuk pencemaran dan kerusakan
lingkungan), asymetrik information, biaya transaksi, kepastian
institusional serta masalah dalam
distribusi. Dalam masalah yang lebih singkat, masuknya pemerintah adalah
untuk menjamin fairness dan keadilan.
Dalam kajian ekonomi konvensional, teori keadilan
perataan pendapatan berdiri diaas empat hal, yaitu: prinsip-prinsip kebutuhan
dasar, prinsip-prinsip efesiensi, prinsip-prinsip eequity yang
menghabiskan proposional dan tanggung jawab social dan prinsip-prinsip yang
yang menggantungkan permasalahan keadilan atas dasar hasil evaluasi keadaan dan
situasi yang berlaku. Sedang di pihak lain, ajaran islam menjelaskan bahwa
selain mengupayakan mekanisme pasar yang berada dalam frame hala-haram,
ajaran islam juga menganut keyakinan adanya tanggung jawab personal terhadap
kesejahteraan orang lain serta batas batas kesejahteraan yang seharusnya
dinikmati pelaku pasar susuai dengan aturan syari’ah. Untuk hal tersebut
instrument dikedepankan adalah zakat yang didisrtibusikan secara produktif.
c. Model Ekonomi Politik (As-Siyasah
Al-Iqtishodiyah)
Para ekonom muslim sudah
mengilustrasikan secara jelas bahwa ajaran islam memiliki orientasi dan model
kebijakan ekonomi tersendiri. Model kebijakan politik ekonomi islam bersifat
statis dan berkembang pada waktu yang bersamaan. Selain itu kebijakan ekonomi
politik islam melayani kesejahteraan materi dan kebutuhan spiritual. Kebijakan
ini akan sangat memperhatikan setiap aktivitas ekonomi individu maupun
kelompok, selama aktivitas ini hanya dalam perencanaan dan orientasi hanya
kepada Allah SWT. (Kesalehan) lebih dari itu reward akan diberikan kepada
aktivitas tersebut sebesar kemamfaatannya terhadap seluruh komunitas secara
umum. Dalam islam tidak dikenal adanya konflik antara materi dan jiwa, dan
tidak ada pemisahan antara ekonomi dan Negara, (Lihat Fatwa Dewan Syariah
Nasional, Majelis Ulama Indonesia)
Dalam sejarah islam aspek ekonomi
politik yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam rangkamengurusi dan melayani
umat, sehingga titik berat pemecahan permasalahan ekomnomi adalah bagaimana
menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Dapat kita lihat pada
hadist nabi Muhammad SAW :
“Jika Pada suatu
pagi di suatu kampung terdapat seseorang yang kelaparan, maka Allahberlepas
diri dari mereka”, dalam kesempatan lain “Tidak beriman pada-Ku, orang yang
tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu tetangganya kelaparan.” (Hadis
Qudsi)
Pada masa kenabian dan kekhalifahan
setelahnya, kaum muslimin cukup berpengalaman dalam menerapkan beberapa
instrument dalam kebijakan fiscal yang diselenggarakan pada baithul maal. Dari
berbagai macam instrument, pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak
khusus muslim), tanah kharaj, dan usyur (cukai) atas barang impor dari Negara
yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslimin, sehingga tidak
memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat. Selanjutnya Hidayatullah
Muttaqien (2004) mengasumsikan bahwa baitul maal masih mempunyai dua instrument
dari dua sumber pemasukan Negara untuk semakin mempertajam distribusi harta
ditengah – tengah masyarakat, yaitu instrument Pos Penyimpanan Asset dari
Public Property ( Kepemilikan Umum) dan Pos Penyimpanan Asset Zakat.
PENUTUP
Demikianlah makalah bertemakan
dan berjudul “Distribusi Menurut Ekonomi Islam”
ini disampaikan. Yang banyak kami ambil dari sumber-sumber buku-buku Islam
dengan mencantumkan banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits nabi SAW beserta
pendapat-pendapat dari beberapa ulama Islam. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita khususnya umat muslim yang terus mencari ilmu tentunya dengan keridhoan
Allah SWT. Dengan
demikian, dalam Islam keadilan distribusi dan redistribusi diatur dalam
khazanah fiqih/hukum Islam yang sebenarnya cukup luarbiasa. Namun sayangnya
kadangkala akses ke sana sulit. Di sisi lain, distribusi dan redistribusi dalam
ekonomi konvensional masih umum digunakan dan tampaknya akan berevolusi menuju
titik tertentu, barangkali adalah instabilitas. Ujar sebagian ekonom
konvensional sendiri seperti Olson and Scully (1982/1988) “income inequality
fuels social discontent and creates political instability.” Wallahu ‘alam,lebih dan kurang kami mohon maaf,
Wassalaammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
DAFTAR PUSTAKA
DR. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi. Fiqih
Ekonomi Umar Bin Al Khatab. Jakarta : Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Group),
2006
Nasution, M. E. Pengenalan Eksekutif Ilmu Ekonomi Islam.
Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006
Fatwa Dewan Syariah Nasional ; Majelis Ulama Indonesia
Winardi, Kamus Ekonomi,
(Bandung: CV. Mandar Maju, 1989), h. 171.
Syarbâshî, Ahmad, al Mu'jam al Iqtishâdî al Islâmî, (Cairo :
Dar al Geil, 1981
Tauzii' (Cairo: Daar al Fath lil Ilaam
al Araby, 1996), h. 302
Naqvi, Syed Nawab Haider, Islam,
Economics, and Society, (London: Kegan Paul International Ltd, 1994), h.
71-71.
Mabid Ali al Jarhi and Muhammad Anas Zarqa, Redistributive
Justice in a Developed Economy
Adiwarman A. Karim. Ekonomi
Mikro Islami. Edisi Ketiga. (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 225.
Al Masry, Rafeq Younes, Ushûl
Al Iqtishâd Al Islâmy, (Beirut: Al Daar As Syaamiyah, 1999), h. 226.
Mabâhist fi al Iqtishâd al
Islâmy min Ushûlihî al Fiqhiyyah, (Beirut: Dar an Nafaes, 2000), h. 88.
Qal’aji, Mabâhist fi al
Iqtishâd al Islâmy min Ushûlihî al Fiqhiyyah, (Beirut: Dar an Nafaes,
2000), h. 87
Syeh Yusuf Qardawi http://masjid.phpbb24.com/viewtopic.php?t=116)
[1]Naqvi, Syed Nawab Haider, Islam, Economics, and Society,
(London: Kegan Paul International Ltd, 1994), h. 71-71.
[2]Winardi, Kamus Ekonomi, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1989), h. 171.
[3] Lihat misalnya : as Syarbâshî, Ahmad, al Mu'jam al Iqtishâdî al
Islâmî, (Cairo : Dar al Geil, 1981); al Mausû'ah al Fiqhiyyah al
Kuwaitiyyah, (Kuwait: Wazaarat al Awqaaf wa as Syu'uun al Islaamiyyah,
1997); az Zuhaili, Wahbah, al Fiqh al Islâmi wa Adillatuhû, (Damaskus,
Dar al Fikr, 1985).
[4]Lihat misalnya bukunya, Hawla al Manhaj al Islâmy fi at Tanmiyah
al Iqtishâdiyyah, (Cairo: Dar al Wafaa, 1989), h. 79.
[5]Lihat misalnya tulisannya tentang at Tauzii' (Cairo: Daar al
Fath lil Ilaam al Araby, 1996), h. 302
[6] Lihat klaimnya tentang ini dalam buku the Future of Economics: An
Islamic Persfective, terjemahan Indonesia
Masa Depan Ilmu Ekonomi; SebuahTinjauan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 99.
[7] Mabid Ali al Jarhi and Muhammad Anas Zarqa, Redistributive
Justice in a Developed Economy: An Islamic Perspective, paper presented at
6th International Conference on Islamic Economics and Finance, (Jakarta: Bank Indonesia, 2005).
[8]Secara tradisional, ekonomi memperlakukan efisiensi dan equity
secara terpisah. Landasan teoritisnya adalah the Second Fundamental Theorem
of Welfare Economics yang mempertahankan bahwa outcome Pareto yang efisien
dapat diterapkan sebagai ekuilibrium kompetitif yang memberikan transfer dan
pajak dengan harga borongan yang tepat (Furman dan Stiglitz, 1998).
[9] Lihat: Adiwarman A. Karim. Ekonomi Mikro Islami. Edisi
Ketiga. (Jakarta :
Rajawali Press, 2007), h. 225.
[10] Al Masry, Rafeq Younes, Ushûl Al Iqtishâd Al Islâmy,
(Beirut: Al Daar As Syaamiyah, 1999), h. 226.
[11] HR. Muslim pada Pembahasan Kebaikan dan Silaturrahmi, Bab Anjuran
untuk Memaafkan.
[12] Qal’aji, Mabâhist fi al Iqtishâd al Islâmy min Ushûlihî al
Fiqhiyyah, (Beirut : Dar an Nafaes, 2000), h.
87; Al Jazri, Mubarak Ibnu al Atsir, Jâmi al Ushûl, no. 3645 (Kuwait : Maktbah
al Mallah, 1392)
[13] Qal’aji, Mabâhist fi al Iqtishâd al Islâmy min Ushûlihî al
Fiqhiyyah, (Beirut :
Dar an Nafaes, 2000), h. 87
[14] Lebih lanjut lihat, Qal’aji, Mabâhist fi al Iqtishâd al Islâmy
min Ushûlihî al Fiqhiyyah, (Beirut :
Dar an Nafaes, 2000), h. 88.
0 komentar:
Posting Komentar