Senin, 08 April 2013

HAWALAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bila menganalisis berbagai perintah agama islam dengan seksama, maka dengan mudah kita dapat memperoleh prinsip yang berkaitan dengan piutang konsumtif. Adapun prinsip piutang konsumtif adalah Prinsip kemurnian, perjanjian, pembayaran dan bantuan yang timbul dari kenyataan bahwa mengambil suatu kredit tanpa suatu sebab yang shahih, ditolak oleh Rasulullah yang diriwayatkan berlindung dari utang maupun dosa. Aisyah berkata rasulullah SAW biasa berdoa dengan mengucapkan kata-kata “Yaa Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan berutang”. Seseorang bertanya padanya “Yaa Rasulullah, mengapa begitu sering engkau berlindung dari berutang?” Jawabnya “Bila orang berutang, dia berdusta, berbohong dan berjanji. Tetapi memungkiri janjinya” (HR. BUKHARI)
Sedangkan dalam hiwalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah : (QS.Al-Maidah: 2 )  
Akad hiwalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut.
Kemudian berdasarkan hadist Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib menerima kewajiban itu.  Nabi saw bersabda: “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah zhalim, dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban pembayaran hutangnya) kepada orang kaya, maka terimalah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5876).




B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah  pengertian Hiwalah?
2.      Apakah dasar hukum Hiwalah?
3.      Apakah rukun-rukun Hiwalah?
4.      Apakah syarat-syarat Hiwalah?
5.      Apasajakah jenis-jenis Hiwalah?
6.      Apasajaka hokum (ketentuan) Hiwalah?
7.      Apakah hakikat Hiwalah dan kedudukan hukum Hiwalah?
8.      Apakah unsur kerelaan dalam Hiwalah?
9.      Apakah beben Muhil setelah aqad Hiwalah?
10.  Bagaimanakah berahirnya akad Hiwlah?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Hiwalah.
2.       Untuk mengetahui dasar hukum Hiwalah.
3.      Untuk mengetahui rukun-rukun Hiwalah.
4.      Untuk mengetahui syarat-syarat Hiwalah.
5.      Untuk mengetahui jenis-jenis Hiwalah.
6.      Untuk mengetahui hukum (ketentuan) Hiwalah.
7.      Untuk mengetahui hakikat Hiwalah dan kedudukan hukum Hiwalah.
8.      Untuk mengetahui unsur kerelaan dalam Hiwalah.
9.      Untuk mengetahui beben Muhil setelah aqad Hiwalah.
10.  Untuk mengetahui berahirnya akad Hiwalah.







BAB II
PEMBAHASAN

A.       PENGERTIAN HIWALAH

         Hiwalah (ﺍﻟﺤﻭﻟﻪ) dalam arti bahasa berasal dari  tahwil yang sinonimnya  :Intiqal yang artinya memindahkan.[1]Hiwalah berarti pengalihan, pemindahan, dan memikul sesuatu diatas pundak. Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama. Baik pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran maupun tidak.[2]
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
1.   Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah.[3]
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.
4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
5. Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.
6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
إنتقال الدين من دمة إلى دمة
Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
7.  Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal ‘alaih.[4]
8. Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.


B.        DASAR HUKUM HIWALAH

Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:
1. Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.
2.  Ijma’
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.[5]


C.    RUKUN HIWALAH
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Sedangkan menurut Malikiyah rukun hiwalah ada empat yaitu:
a.       Muhil (Orang yang memindahkan)
b.      Muhal Bih
c.       Muhal Alaih (orang yang di pindahi utang.
d.      Sighat

Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1.   Pihak pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2.   Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3.   Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4.  Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5.  Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6.      Ada sighat (pernyataan hiwalah).

D.    SYARAT-SYARAT HIWALAH

Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih.
a.       Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil
1)      Muhil harus memiliki kecakapan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum.
2)      Kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.
b.      Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal.
1)    Muhal harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil.
2)    Kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad hawalah.
c.       Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih.
1)      Muhil Alaih, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig.
2)       Kerelaan dari hatinya karena tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di luar majlis.
d.      Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih.
1)         Muhal Bih harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal.
2)         Hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.[6]

E.     JENIS-JENIS HIWALAH
Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
a.   Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b.  Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.

F.  BEBERAPA HUKUM (KETENTUAN) TENTANG HIWALAH

Apabila Hiwlah telah di laksanakan maka timbulah akibat-akibat hukum sebagi berikut:

1)   . Pembebasan muhi . Apabila ijab qobul hiwalah telah sempurna, menurut jumhur ulama’ , muhil telah bebas dari hutang . Akan tetapi menurut  Imam Hasan Basri, muhil belum bebes kecuali apabila ad- dain membebaskannya . Menurut Zufar dari  Hanafiah, hiwalah tidak mengakibatkan kebebasan muhil. Ia tetap mmemiliki tanggungan uatang setelah terjadinya akad hiwalah, sebagaimana sebelumnya .Hukumnya di qiyaskan kepada kafalah karena pada dasarnya akadnya hanya akad kepercayaan. Pendapat ini tentu saja tidak tepet karena seperti  yang telah  di kemukakan pada awal pembahasan ini hiwalah berbeda dengan kafalah. Kafalah hanya mengumpulkan tanggungan, sedangkan hiwalah memindahkan tanggungan dari muhil  kepada muhal alaih.
2)   .Tetapnya kekeuasaan penuntutan bagi muhal atas muhal alaih terhadap utang yang dalam tangguangannya . Dengan demikian pengalihan bukan hanya utang, melainkan utang dan penuntutannya sekaligus .
3)   .Tetapnya hak mulazamah bagi muhal alaih pada muhil, apabila muhil terkait dengan muhal.

G.   HAKIKAT HIWALAH DAN KEDUDUKAN HUKUM HIWALAH

1)   . Hakikat Hiwalah
Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap sahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya : jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari dan Muslim)
            Yang sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah adalah murni transaksi irfaq (memberi manfaat) bukan yang lainnya.
Ibnu al-Qayyim berkata, “Kaidah-kaidah syara’ mendukung dibolehkannya hawalah, dan ini sesuai dengan qiyas.

2)   . Kedudukan Hukum Hiwalah
Pertama, jika hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan utang. Demikian menurut jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya akad hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya

H.    UNSUR KERELAAN DALAM HIWALAH
1.      Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
2.      Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.


I.    BEBAN MUHIL SETELAH AQAD HIWALAH
Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.[7]
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.

J.  BERAKHIRNYA AKAD HAWALAH
Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1. Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hiwalah belum dilaksanakan sampai   tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
2. Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hiwalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3. Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4. Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hiwalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.
5. Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6. Jika Muhal menghapus bukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari penjelasan dia atasa dapt di tarik kesimpulan bahwa Hiwalah adalah pemindahan hak berupa utang dari orang yang berutang (al-mudin) kepada orang lain yang dibebeni tanggunagn pembayaran utang tersebut.Dalam hal ini hiwalah dengan kafalah karena kafalah ahanya mengumpulakan tanggunangan di tangan penanggung (kafil) tanpa memindahkan utang sedangkan utanganya sendiri masih dlam tanggungan al-mudin.
Aqad hiwalah hukumnya di bolehkan oleh syara’ karaena dibutuhkan masyarakat.Adapun rukun hiwalah ada empat menurut imam malikiah diantaranya yang pertama muhil ( orang yang memindhkan) yang kedua adalah muhal bih yang ke tiga adalah muhal ‘alaih (orang yang dipindahi utang). Dan yanga terahir adalah sighot.
           














DAFTAR PUSTAKA

Wardi MUslich, Ahmad. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta : AMZAH.
Djuwaini,Dimyaudin.2008. Pengantar Fiqih Muamalat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Suhendi, Hendi, 2008, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sabiq, Sayyid, 1987, Fikih Sunnah, Bandung : PT Al-ma'rif.
http//syariahlife.wordpress.com/2007/hawalah/


[1] Wardi MUslich, Ahmad. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta. hal 447
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hal: 99
[4] Wardi MUslich, Ahmad. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta. hal 448
[5] Wardi MUslich, Ahmad. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta hal 448-449

[6] http//syariahlife.wordpress.com/2007/hawalah/
[7] Suhendi, Hendi, 2008, Fiqh Muamalah, Jakarta hal 103

0 komentar:

Posting Komentar