Senin, 08 April 2013

Hadits


A.    Fungsi Hadits Secara Umum
Sebagaimana kita ketahui bahwa hadits mempunyai kedudukan yang begitu penting dalam Islam, sehingga Allah sendiri perlu menjelaskan posisi Nabi sebagai sumber hadits dalam Islam.  Karena itu bagi kita sebagai umat Islam, kiranya juga perlu mengetahui fungsi hadits tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk fungsi utama hadits terhadap sumber pertama Islam yakni Al-Qur’an.  Karena kita yakin bahwa dengan mengetahui fungsi hadits tersebut, kita akan lebih dapat mengenal hadits dan lebih mantap dalam mengkaji dan sekaligus mengamalkannya.
Secara umum bahwa fungsi hadits bagi umat Islam ialah sebagai pedoman dan arah dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karena hadits itu memberikan arahan yang berupa prinsip-prinsip yang harus ditegakkan, baik dalam kaitannya dengan persoalan ibadah maupun bermuamalah dengan sesama manusia.  Disamping itu hadits juga memberikan berbagai ketentuan yang cukup rinci, khususnya  berkaitan dengan persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, dan lainnya.  Jadi setiap muslim yang mengaku beriman, sesungguhnya ia harus menjadikan hadits Nabi sebagai tuntunan dalam segala aktifitasnya, tentu saja disamping Al-Qur’an yang menjadi prioritas utama.
          Namun demikian, kiranya perlu dijelaskan lebih detail tentang fungsi hadits tersebut, terutama manakala dihadapkan dengan Al-Qur’an.  Secara umum hadits mempunyai fungsi menjelaskan terhadap isi kandungan Al-Qur’an, karena sebagai kitab suci yang universal dan berlaku sepanjang masa, maka Al-Qur’an tidak mungkin akan memuat penjelasan yang rinci, baik berkaitan dengan persoalan ibadah maupun berbagai persoalan lainnya, termasuk hukum.  Fungsi hadits yang demikian juga diisyaratkan sendiri oleh Allah SWT, sebagaimana  tertuang dalam   Al-Qur’an, misalnya dalam ayat 44 Surat an-Nahl, berikut : ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl : 44)
Demikian juga beberapa ayat yang dapat disimpulkan bahwa Hadits dan Nabi sebagai sumber hadits, itu berfungsi menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada  Nabi Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril.  Ayat-ayat dimaksud dapat disebutkan, yakni  ayat ke 21 Surat al-Ahzab, ayat ke 20 Surat al-Anfal, ayat ke 80 Surat an-Nisa', ayat ke 69 Surat an-Nisa', ayat ke 50-60 Surat an-Nisa' dan lainnya.
a. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
            Fungsi utama sunnah adalah sebagai penjelas (bayan) terhadap Al-Qur’an. Artinya untuk menggali hukum dalam Al-Qur’an dan memahami ayat-ayatnya sangat memerlukan hadits atau sunnah. Fungsi hadits sebagai bayan Al-Qur’an tersebut sangat beragam baik sifat, bentuk, serta fungsinya.
Fungsi bayan lebih banyak dikarenakan Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dimana manusia tidak mungkin dapat memahami Al-Qur’an hanya berpatokan atau mengandalkan Al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu Allah memberi wewenang kepada Nabi Muhammad untuk menjelaskan maksud-maksud Al-Qur’an baik dengan perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.
Adapun fungsi hadits terhadap Al-Qur’an selengkapnya sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, sebagai berikut:
a.    1. Hadits berfungsi sebagai bayan at-Tafshil
yaitu hadits memiliki fungsi untuk menjelaskan atau merinci ke-mujmal-an (global) Al-Qur’an, sehingga dapat dipahami umat Islam. Dalam Al-Qur’an ada perintah melaksanakan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji, berjuang di jalan Allah dan sebagainya. Namun teknik operasional dari kewajiban-kewajiban tersebut tidak dijumpai dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, teknik operasionalnya diterapkan oleh sunnah. Sebagai contoh adalah perintah shalat dalam surat al-Baqarah:110, tanpa disertai aturan teknis operasional bagaimana perintah sholat tersebut harrus dilaksanakan.
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ  
Artinya :
“Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 110)
       Dari ketentuan  teks Al-Qur’an tersebut, kemudian Rasulullah mempraktikkan sholat dan kemudian beliau bersabda yang artinya:
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengrjakan sholat” (HR. Bukhari)

a.      2. Hadits berfungsi sebagai bayan al-ta’kid atau bayan at-taqrir.
Dalam konteks ini, hadits memiliki fungsi memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, sunnah hanya seperti mengulangi apa yang dikatakan Al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan mempunyai dua sumber hukum sekaligus, seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa’ :29 berikut:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta diantara kamu sekalian dengan jalan bathil.” (QS. An-Nisa’: 29)
                  
Dari ayat tersebut Rasulullah kemudian menegaskan dalam haditsnya yang artinya:
“ Tidak halal harta seoarng muslim, kecuali (hasil dari pekerjaan) yang baik dari dirinya sendiri.” (HR. Ahmad)

a.      3. Hadits berfungsi sebagai bayan al muthlaq atau bayan al-taqyid
Dalam konteks ini, hadits memberikan batasan-batasan atas ayat-ayat yang disebutkan secara mutlak, sebagaimana misalnya terdapat dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ : 7 yang secara umum menjelaskan bahwa anak laki-laki dan perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya yang telah meninggal dunia, berikut : 
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ  
Artinya :
“Bagi anak laki-laki ada hak bagian dar peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapaknyadan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa’ : 7)
       Ayat tersebut bersifat mutlaq (umum) yang kemudian Nabi memberikan qayyid (batasan) bahwa hak warisan itu tidak dapat diberikan kepada mereka yang menjadi penyebab kematian orang tuanya, seperti sabda Rasulullah yang artinya :
“Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuh sedikitpun.” (HR. An-Nasa’i)

a.    4. Hadits berfungsi sebagai bayan al-takhsis
Dalam konteks ini, hadits memiliki fungsi mengkhususkan lafadz-lafadz di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Seperti contoh firman Allah dalam surat an-Nisa’ : 24, yang menjelaskan tentang keharaman menikahi wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang dimiliki dan kehalalan pernikahan dari selain yang tertera dalam QS. An-Nisa’ : 24  tersebut yang artinya :
“...Dan dihalalkan bagi kaum selain yang demikian (yaitu) bmencari isteri-isteri dengan hartamu untuk mengawini, bukan untuk berzina.” (QS.an-Nisa’ : 24)
       Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menghalalkan selain yang tersebut dalam surat 4 : 23 dan awal 24. Akan tetapi kehalalan itu kemudian di takhshis oleh Nabi, dimana beliau mengharamkan memadu istri dengan bibi, baik dari garis ibu maupun ayah, dengan sabdanya yang artinya :
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seoarang wanita dengan ‘ammah (saudara bapak)nya, dan seorang wanita dengan khalah (saudara ibu)nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

a.      5. Hadits berfungsi sebagai bayan al-tasyri’
Dalam konteks ini, hadits memiliki fungsi menetapkan suatu hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an secara jelas. Dalam hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama apa yang ditetapkan oleh Nabi itu pula hakikatnya adalah penjelasan apa yang disinggung Allah dalam Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas. Sebagai contoh dalam QS. Al-Maidah : 3 tentang keharaman bangkai, darah, daging babi dan sesuatu yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah.

ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$# ...
Artinya :
“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, (daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala....” (QS. Al-Maidah : 3)
       Sebagai tambahan penjelasan dari ayat tersebut kemudian Nabi mengatakan haramnya binatang buas yang bertaring dan burung yang kukunya mencekam/mencengkeram karena saking tajamnya. Secara lahir larangan tersebut dapat dikatakan hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi. Namun sebenarnya larangan itu hanyalah perluasan dari larangan Allah sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah : 3 tersebut.

a.      6. Hadits berfungsi sebagai bayan al naskh
Dalam konteks ini hadits berfungsi menghapuskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits yang demikian ini adalah bagi mereka yang berpendapat bahwa hadits dapat me-nasakh Al-Qur’an walaupun sebenarnya pendapat semacam ni agak berlebihan. Mereka memberi contoh bahwa hadits “La wasiyyata li waaritsin” adalah me-nasakh hukum bolehnya wasiat kepada orang tua dan kerabat sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 180, berikut :
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al baqarah : 180)
B.. Bentuk-Bentuk Hadits
Berdasarkan pengertian hadis, bentuk-bentuk hadis terbagi pada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi (keinginan), ahwali (hal ihwal), dan lainnya.
1.      Hadis Qauli
Hadis qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi Saw. Dengankata lain, hadis qauli adalah hadis berupa perkataan Nabi Saw.yang berisi berbagaituntutan dan petunjuk Syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariat, maupun akhlak.
Di antara contoh hadis qauli adalah hadis tentang kecaman Rasul kepada orang-orang yang mencoba memalsukan hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah Saw.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارٌ. {رواه مسلم}
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa sengaja berdusta atas diriku, hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya dineraka.” (Hr. Muslim).
2.      Hadis Fi’li
Hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Saw. Dalam hadis tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi Saw. Yagn menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.
Hadis yang termasuk kategori ini di antaranya adalah hadis-ohadisyang di dalamnya terdapat kata-kata kana/yakunu atau ra’aitu/ra’aina. Contohnya hadis berikut ini,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ وَيَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ هَذِهِ قِسْمَتِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ. {رواه أبو داود والترمذي والنسائى وابن ماجه}
Dari ‘Aisyah, Rasul saw, membagi (nafkah dan gilirannya) antar istri-istrinya dengan adil. Beliau bersabda,”Ya Allah! Inilah pembagianku pada apayagn aku miliki. Janganlah engkau mencelaku dalam hal yang tidak aku miliki.” (H.R. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibn Majah).
3.      Hadis Taqiri
Hadis taqriri adalah hadis berupa ketetapan Nabi Saw, terhadap apa yang dating ataudilakukan oleh para sahabatnya. Nabi Saw, membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan  ataumempermasalahkannya sikap Nabi yang demikian itu. Diantara contoh hadis taqriri adalah sikaprasul Saw, yang membiarkan para sahabat dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu.
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِيْ بَيِيْ قُرَيْضَةَ. {رواه البخاري}
Janganlah seorangpun shalat Ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah. (H.R. Al-Bukhari)
Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar. Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalananya sehingga dapat shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat itu dibiarkan oleh Nabi Saw. Tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.[1]

4.      Hadis Hammi
Hadis hammi adalah hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi Saw, yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Sebagai contoh adalah hadis dari Ibn Abbas, sebagai berikut.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ حِيْنَ صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَنَا بِصِيَامِهِ قَالُوْ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَزْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ صُمْنَا يَوْمَ التَّاسِعْ. {رواه أبوداود}
Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Ketika Nabi Saw. Berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’. Rasul Saw. Kemudian bersabda, ‘Tuhan yang akan dating insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.” (H.R. Abu Dawud).
Nabi Saw. Belum sempat merealisasikan hasratnya ini karena beliau wafat sebelum dating bulan “Asyura tahun berikutnya. Menurut para ulama, seperti Asy-Syafi’I dan para pengikutnya, menjalankan hadis hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah lainnya.[2]
5.      Hadis Ahwali
Hadis Ahwali adalah hadis yang berupa hal ikhwal Nabi Saw, yang tidak termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadis di atas. Hadis yang termasuk kategori ini adalah hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta keadaan fisik Nabi Saw.[3] Sifat Nabi Saw diceritakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik, sebagai berikut:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا. {متفق عليه}
Rasul Saw, adalah orang yang paling mulia akhlaknya. (Mutafaq’alaih)

Tentang keadaan fisik Nabi Saw., dijelaskan dalam hadis,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ الْبَائِنِ وَلاَ بِالْقَصِيْرِ. {رواه البخاري}
Rasul Saw, adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tabuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek. (H.R. Al-Bukhari).
Pada hadis lainnya disebutkan bahwa Anas bin Malik berkata.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: مَامَسِسْتُ حَرِيْرًا وَلاَ دِيْبًاجًا اَلْيَنَ مِنْ كَفِّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ شَمِمْتُ رِيْحًا قَطُّ أَوْ عَرْفًا قَطُّ أَطْيَبَ مِنْ رِيْحٍ أَوْعَرْفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. {رواه البخاري}
Dari Anas ra. Berkata, “Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna (yang halus) sehalus telapak tangan Rasul Saw, juga belum pernah mencium wewangian seharum Rasul Saw (H.R. Bukhari)

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Secara umum hadits mempunyai fungsi menjelaskan terhadap isi kandungan Al-Qur’an, karena sebagai kitab suci yang universal dan berlaku sepanjang masa, maka Al-Qur’an tidak mungkin akan memuat penjelasan yang rinci, baik berkaitan dengan persoalan ibadah maupun berbagai persoalan lainnya, termasuk hukum. 
Fungsi hadits terhadap Al-qur’an diantaranya :
Hadits berfungsi sebagai bayan at-Tafshil
Hadits berfungsi sebagai bayan al-ta’kid/bayan at-taqrir
Hadits berfungsi sebagai bayan al-muthlaq/bayan al-taqyid
Hadits berfungsi sebagai bayan al-takhsis
Hadits berfungsi sebagai bayan al-tasyri’
Hadits berfungsi sebagai bayan al-naskh
Bentuk-bentuk hadits diantaranya :
Hadits Qauli Hadis qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi Saw. Dengankata lain, hadis qauli adalah hadis berupa perkataan Nabi Saw
Hadits Fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Saw. Dalam hadis tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi Saw
Hadits Taqriri adalah hadis berupa ketetapan Nabi Saw, terhadap apa yang dating ataudilakukan oleh para sahabatnya
Hadits Hammi adalah Hadis hammi adalah hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi Saw, yang belum terealisasikan
Hadits Ahwali adalah Hadis Ahwali adalah hadis yang berupa hal ikhwal Nabi Saw



DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Mutawali Hamadah. As-Sunnah An-Nabawiyah wa Makanatuh fi At-Tasyri’. Kairo: Dar Al-Qoumiyahli Ath-Thiba’ah wa An-Nasyr. 1965.
Utang , Ranuwijaya. Ibnu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1996.
Azami. 2004. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum. Pustaka Firdaus: Jakarta
Sya’roni, Usman. 2002. Otentisitas Hadis. Pustaka Firdaus: Jakarta
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. UIN-Malang Press: Malang
Sumbulah, Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadits. Malang: UIN MALIKI Press
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Muhammad, Tengku Hasbi Ash Shiddieqy. 1999. Sejarah dan Pengantar Ilmu
            Hadits. Semarang: Putaka Rizki Putra






[1] Abbas Mutawali Hamadah. As-Sunnah An-Nabawiyah wa Makanatuh fi At-Tasyri’. Kairo: Dar Al-Qoumiyahli Ath-Thiba’ah wa An-Nasyr. 1965. hlm. 22-23.
[2] Ranuwijaya, op.cit. hlm. 18
[3] ibid

0 komentar:

Posting Komentar