A.
Fungsi Hadits
Secara Umum
Sebagaimana kita ketahui bahwa
hadits mempunyai kedudukan yang begitu penting dalam Islam, sehingga Allah sendiri
perlu menjelaskan posisi Nabi sebagai sumber hadits dalam Islam. Karena
itu bagi kita sebagai umat Islam, kiranya juga perlu mengetahui fungsi hadits
tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk fungsi utama hadits
terhadap sumber pertama Islam yakni Al-Qur’an. Karena kita yakin bahwa
dengan mengetahui fungsi hadits tersebut, kita akan lebih dapat mengenal hadits
dan lebih mantap dalam mengkaji dan sekaligus mengamalkannya.
Secara umum bahwa fungsi hadits
bagi umat Islam ialah sebagai pedoman dan arah dalam menjalani kehidupan di
dunia ini, karena hadits itu memberikan arahan yang berupa prinsip-prinsip yang
harus ditegakkan, baik dalam kaitannya dengan persoalan ibadah maupun
bermuamalah dengan sesama manusia. Disamping itu hadits juga memberikan
berbagai ketentuan yang cukup rinci, khususnya berkaitan dengan persoalan
ibadah, seperti shalat, zakat, dan lainnya. Jadi setiap muslim yang
mengaku beriman, sesungguhnya ia harus menjadikan hadits Nabi sebagai tuntunan
dalam segala aktifitasnya, tentu saja disamping Al-Qur’an yang menjadi
prioritas utama.
Namun demikian, kiranya perlu dijelaskan lebih detail tentang fungsi hadits
tersebut, terutama manakala dihadapkan dengan Al-Qur’an. Secara umum hadits
mempunyai fungsi menjelaskan terhadap isi kandungan Al-Qur’an, karena sebagai
kitab suci yang universal dan berlaku sepanjang masa, maka Al-Qur’an tidak
mungkin akan memuat penjelasan yang rinci, baik berkaitan dengan persoalan
ibadah maupun berbagai persoalan lainnya, termasuk hukum. Fungsi hadits
yang demikian juga diisyaratkan sendiri oleh Allah SWT, sebagaimana
tertuang dalam Al-Qur’an, misalnya dalam ayat 44 Surat an-Nahl,
berikut : ÏM»uZÉit7ø9$$Î/
Ìç/9$#ur
3
!$uZø9tRr&ur
y7øs9Î)
tò2Ïe%!$#
tûÎiüt7çFÏ9
Ĩ$¨Z=Ï9
$tB
tAÌhçR
öNÍkös9Î)
öNßg¯=yès9ur
crã©3xÿtGt
ÇÍÍÈ
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka
memikirkan.” (QS. An-Nahl : 44)
Demikian juga beberapa ayat yang
dapat disimpulkan bahwa Hadits dan Nabi sebagai sumber hadits, itu berfungsi
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril. Ayat-ayat dimaksud dapat
disebutkan, yakni ayat ke 21 Surat al-Ahzab, ayat ke 20 Surat al-Anfal,
ayat ke 80 Surat an-Nisa', ayat ke 69 Surat an-Nisa', ayat ke 50-60 Surat an-Nisa'
dan lainnya.
a. Fungsi Hadits
Terhadap Al-Qur’an
Fungsi
utama sunnah adalah sebagai penjelas (bayan) terhadap Al-Qur’an. Artinya
untuk menggali hukum dalam Al-Qur’an dan memahami ayat-ayatnya sangat
memerlukan hadits atau sunnah. Fungsi hadits sebagai bayan Al-Qur’an
tersebut sangat beragam baik sifat, bentuk, serta fungsinya.
Fungsi bayan lebih banyak
dikarenakan Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dimana
manusia tidak mungkin dapat memahami Al-Qur’an hanya berpatokan atau mengandalkan
Al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu Allah memberi wewenang kepada Nabi
Muhammad untuk menjelaskan maksud-maksud Al-Qur’an baik dengan perkataan,
perbuatan maupun ketetapannya.
Adapun fungsi hadits terhadap
Al-Qur’an selengkapnya sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, sebagai
berikut:
a.
1. Hadits berfungsi sebagai bayan at-Tafshil
yaitu hadits
memiliki fungsi untuk menjelaskan atau merinci ke-mujmal-an (global)
Al-Qur’an, sehingga dapat dipahami umat Islam. Dalam Al-Qur’an ada perintah
melaksanakan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji, berjuang di jalan
Allah dan sebagainya. Namun teknik operasional dari kewajiban-kewajiban
tersebut tidak dijumpai dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, teknik operasionalnya
diterapkan oleh sunnah. Sebagai contoh adalah perintah shalat dalam surat
al-Baqarah:110, tanpa disertai aturan teknis operasional bagaimana perintah
sholat tersebut harrus dilaksanakan.
(#qßJÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur
no4q2¨9$#
4
$tBur
(#qãBÏds)è?
/ä3Å¡àÿRL{
ô`ÏiB
9öyz
çnrßÅgrB
yYÏã «!$#
3
¨bÎ)
©!$#
$yJÎ/
cqè=yJ÷ès?
×ÅÁt/
ÇÊÊÉÈ
Artinya :
“Dan
dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Allah melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 110)
Dari ketentuan teks Al-Qur’an tersebut, kemudian Rasulullah
mempraktikkan sholat dan kemudian beliau bersabda yang artinya:
“Sholatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku mengrjakan sholat” (HR. Bukhari)
a.
2. Hadits berfungsi sebagai bayan al-ta’kid
atau bayan at-taqrir.
Dalam konteks ini, hadits memiliki fungsi memperkuat hukum-hukum
yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, sunnah hanya seperti
mengulangi apa yang dikatakan Al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan mempunyai dua
sumber hukum sekaligus, seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa’ :29 berikut:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s?
¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta diantara kamu sekalian
dengan jalan bathil.” (QS. An-Nisa’: 29)
Dari ayat tersebut Rasulullah kemudian
menegaskan dalam haditsnya yang artinya:
“ Tidak halal harta seoarng muslim, kecuali
(hasil dari pekerjaan) yang baik dari dirinya sendiri.” (HR. Ahmad)
a.
3. Hadits berfungsi sebagai bayan al muthlaq
atau bayan al-taqyid
Dalam konteks ini, hadits memberikan batasan-batasan atas ayat-ayat
yang disebutkan secara mutlak, sebagaimana misalnya terdapat dalam Al-Qur’an
surat an-Nisa’ : 7 yang secara umum menjelaskan bahwa anak laki-laki dan
perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya yang telah meninggal dunia,
berikut :
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$#
cqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uèYx. 4 $Y7ÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ
Artinya :
“Bagi anak
laki-laki ada hak bagian dar peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi
orang perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapaknyadan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
(QS. An-Nisa’ : 7)
Ayat tersebut bersifat mutlaq
(umum) yang kemudian Nabi memberikan qayyid (batasan) bahwa hak warisan
itu tidak dapat diberikan kepada mereka yang menjadi penyebab kematian orang
tuanya, seperti sabda Rasulullah yang artinya :
“Seorang
pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuh sedikitpun.” (HR.
An-Nasa’i)
a.
4. Hadits berfungsi sebagai bayan al-takhsis
Dalam konteks ini, hadits memiliki fungsi mengkhususkan
lafadz-lafadz di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Seperti contoh
firman Allah dalam surat an-Nisa’ : 24, yang menjelaskan tentang keharaman
menikahi wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang dimiliki dan
kehalalan pernikahan dari selain yang tertera dalam QS. An-Nisa’ : 24 tersebut yang artinya :
“...Dan
dihalalkan bagi kaum selain yang demikian (yaitu) bmencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk mengawini, bukan untuk berzina.” (QS.an-Nisa’ : 24)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah
menghalalkan selain yang tersebut dalam surat 4 : 23 dan awal 24. Akan tetapi
kehalalan itu kemudian di takhshis oleh Nabi, dimana beliau mengharamkan
memadu istri dengan bibi, baik dari garis ibu maupun ayah, dengan sabdanya yang
artinya :
“Tidak boleh
seseorang mengumpulkan (memadu) seoarang wanita dengan ‘ammah (saudara
bapak)nya, dan seorang wanita dengan khalah (saudara ibu)nya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
a.
5. Hadits berfungsi sebagai bayan al-tasyri’
Dalam konteks ini, hadits memiliki fungsi menetapkan suatu hukum
yang disebutkan dalam Al-Qur’an secara jelas. Dalam hal ini seolah-olah Nabi
menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama apa
yang ditetapkan oleh Nabi itu pula hakikatnya adalah penjelasan apa yang
disinggung Allah dalam Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah
secara terbatas. Sebagai contoh dalam QS. Al-Maidah : 3 tentang keharaman
bangkai, darah, daging babi dan sesuatu yang disembelih tidak dengan menyebut
nama Allah.
ôMtBÌhãm
ãNä3øn=tæ
èptGøyJø9$#
ãP¤$!$#ur
ãNøtm:ur
ÍÌYÏø:$#
!$tBur
¨@Ïdé&
ÎötóÏ9
«!$#
¾ÏmÎ/
èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur
äosqè%öqyJø9$#ur
èptÏjutIßJø9$#ur
èpysÏܨZ9$#ur
!$tBur
@x.r&
ßìç7¡¡9$#
wÎ)
$tB
÷Läêø©.s
$tBur
yxÎ/è
n?tã
É=ÝÁZ9$#
...
Artinya :
“Diharamkan
bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, (daging hewan yang disembelih atas
nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala....” (QS. Al-Maidah : 3)
Sebagai tambahan penjelasan dari ayat
tersebut kemudian Nabi mengatakan haramnya binatang buas yang bertaring dan
burung yang kukunya mencekam/mencengkeram karena saking tajamnya. Secara lahir
larangan tersebut dapat dikatakan hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi. Namun
sebenarnya larangan itu hanyalah perluasan dari larangan Allah sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al-Maidah : 3 tersebut.
a.
6. Hadits berfungsi sebagai bayan al naskh
Dalam konteks ini hadits berfungsi menghapuskan hukum-hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits yang demikian ini adalah bagi mereka
yang berpendapat bahwa hadits dapat me-nasakh Al-Qur’an walaupun
sebenarnya pendapat semacam ni agak berlebihan. Mereka memberi contoh bahwa
hadits “La wasiyyata li waaritsin” adalah me-nasakh hukum
bolehnya wasiat kepada orang tua dan kerabat sebagaimana firman Allah dalam QS.
Al-Baqarah : 180, berikut :
|=ÏGä.
öNä3øn=tæ
#sÎ)
u|Øym
ãNä.ytnr&
ßNöqyJø9$#
bÎ)
x8ts?
#·öyz
èp§Ï¹uqø9$#
Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9
tûüÎ/tø%F{$#ur
Å$rã÷èyJø9$$Î/
(
$)ym
n?tã
tûüÉ)FßJø9$#
ÇÊÑÉÈ
Artinya :
“Diwajibkan
atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al baqarah
: 180)
B.. Bentuk-Bentuk
Hadits
Berdasarkan
pengertian hadis, bentuk-bentuk hadis terbagi pada qauli (perkataan), fi’li
(perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi (keinginan), ahwali (hal ihwal), dan
lainnya.
1.
Hadis Qauli
Hadis qauli
adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi Saw.
Dengankata lain, hadis qauli adalah hadis berupa perkataan Nabi Saw.yang berisi
berbagaituntutan dan petunjuk Syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan
dengan aspek akidah, syariat, maupun akhlak.
Di antara
contoh hadis qauli adalah hadis tentang kecaman Rasul kepada orang-orang yang
mencoba memalsukan hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah Saw.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارٌ. {رواه مسلم}
Dari Abu
Hurairah r.a., Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa sengaja berdusta atas
diriku, hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya dineraka.” (Hr.
Muslim).
2.
Hadis Fi’li
Hadis fi’li
adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Saw. Dalam hadis tersebut
terdapat berita tentang perbuatan Nabi Saw. Yagn menjadi anutan perilaku para
sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk
mengikutinya.
Hadis yang
termasuk kategori ini di antaranya adalah hadis-ohadisyang di dalamnya terdapat
kata-kata kana/yakunu atau ra’aitu/ra’aina. Contohnya hadis berikut ini,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ
وَيَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ هَذِهِ قِسْمَتِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِيْ
فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ. {رواه أبو داود والترمذي والنسائى وابن ماجه}
Dari ‘Aisyah,
Rasul saw, membagi (nafkah dan gilirannya) antar istri-istrinya dengan adil.
Beliau bersabda,”Ya Allah! Inilah pembagianku pada apayagn aku miliki.
Janganlah engkau mencelaku dalam hal yang tidak aku miliki.” (H.R. Abu Daud,
At-Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibn Majah).
3.
Hadis Taqiri
Hadis taqriri
adalah hadis berupa ketetapan Nabi Saw, terhadap apa yang dating ataudilakukan
oleh para sahabatnya. Nabi Saw, membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang
dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau
membenarkan ataumempermasalahkannya
sikap Nabi yang demikian itu. Diantara
contoh hadis taqriri adalah sikaprasul Saw, yang membiarkan para sahabat dalam
menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu.
لاَ
يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِيْ بَيِيْ قُرَيْضَةَ. {رواه البخاري}
“Janganlah seorangpun shalat
Ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah. (H.R. Al-Bukhari)
Sebagian
sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut
sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar. Segolongan sahabat
lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan
serius dalam peperangan dan perjalananya sehingga dapat shalat tepat pada
waktunya. Sikap para sahabat itu dibiarkan oleh Nabi Saw. Tanpa ada yang
disalahkan atau diingkarinya.[1]
4.
Hadis Hammi
Hadis hammi
adalah hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi Saw, yang belum
terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Sebagai
contoh adalah hadis dari Ibn Abbas, sebagai berikut.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ
يَقُوْلُ حِيْنَ صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَنَا بِصِيَامِهِ قَالُوْ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَزْمٌ
تُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ صُمْنَا يَوْمَ
التَّاسِعْ. {رواه أبوداود}
Dari Abdullah
bin Abbas, ia berkata, “Ketika Nabi Saw. Berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, hari
ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’. Rasul Saw. Kemudian
bersabda, ‘Tuhan yang akan dating insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang
kesembilan.” (H.R. Abu Dawud).
Nabi Saw.
Belum sempat merealisasikan hasratnya ini karena beliau wafat sebelum dating
bulan “Asyura tahun berikutnya. Menurut para ulama, seperti Asy-Syafi’I dan
para pengikutnya, menjalankan hadis hammi ini disunnahkan, sebagaimana
menjalankan sunnah-sunnah lainnya.[2]
5.
Hadis Ahwali
Hadis Ahwali
adalah hadis yang berupa hal ikhwal Nabi Saw, yang tidak termasuk ke dalam
kategori keempat bentuk hadis di atas. Hadis yang termasuk kategori ini adalah
hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta keadaan fisik
Nabi Saw.[3]
Sifat Nabi Saw diceritakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik,
sebagai berikut:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا. {متفق عليه}
Rasul Saw,
adalah orang yang paling mulia akhlaknya. (Mutafaq’alaih)
Tentang
keadaan fisik Nabi Saw., dijelaskan dalam hadis,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ
بِالطَّوِيْلِ الْبَائِنِ وَلاَ بِالْقَصِيْرِ. {رواه البخاري}
Rasul Saw, adalah manusia yang sebaik-baiknya
rupa dan tabuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek. (H.R.
Al-Bukhari).
Pada hadis
lainnya disebutkan bahwa Anas bin Malik berkata.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: مَامَسِسْتُ حَرِيْرًا وَلاَ دِيْبًاجًا اَلْيَنَ مِنْ كَفِّ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ شَمِمْتُ رِيْحًا قَطُّ أَوْ عَرْفًا قَطُّ
أَطْيَبَ مِنْ رِيْحٍ أَوْعَرْفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
{رواه البخاري}
Dari Anas ra. Berkata, “Aku belum pernah
memegang sutra murni dan sutra berwarna (yang halus) sehalus telapak tangan
Rasul Saw, juga belum pernah mencium wewangian seharum Rasul Saw (H.R.
Bukhari)
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Secara umum hadits mempunyai fungsi menjelaskan terhadap isi
kandungan Al-Qur’an, karena sebagai kitab suci yang universal dan berlaku sepanjang
masa, maka Al-Qur’an tidak mungkin akan memuat penjelasan yang rinci, baik
berkaitan dengan persoalan ibadah maupun berbagai persoalan lainnya, termasuk
hukum.
Fungsi hadits terhadap Al-qur’an
diantaranya :
Hadits
berfungsi sebagai bayan at-Tafshil
Hadits
berfungsi sebagai bayan al-ta’kid/bayan at-taqrir
Hadits
berfungsi sebagai bayan al-muthlaq/bayan al-taqyid
Hadits
berfungsi sebagai bayan al-takhsis
Hadits
berfungsi sebagai bayan al-tasyri’
Hadits
berfungsi sebagai bayan al-naskh
Bentuk-bentuk
hadits diantaranya :
Hadits Qauli Hadis qauli
adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi Saw.
Dengankata lain, hadis qauli adalah hadis berupa perkataan Nabi Saw
Hadits Fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi
Saw. Dalam hadis tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi Saw
Hadits Taqriri adalah hadis
berupa ketetapan Nabi Saw, terhadap apa yang dating ataudilakukan oleh para
sahabatnya
Hadits Hammi adalah Hadis hammi adalah hadis yang berupa keinginan
atau hasrat Nabi Saw, yang belum terealisasikan
Hadits Ahwali adalah Hadis Ahwali adalah hadis yang berupa hal
ikhwal Nabi Saw
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas, Mutawali Hamadah. As-Sunnah An-Nabawiyah wa
Makanatuh fi At-Tasyri’. Kairo: Dar Al-Qoumiyahli Ath-Thiba’ah wa An-Nasyr. 1965.
Utang
, Ranuwijaya. Ibnu Hadis.
Jakarta: Gaya Media Pratama. 1996.
Azami. 2004. Menguji Keaslian
Hadis-Hadis Hukum. Pustaka Firdaus: Jakarta
Sya’roni, Usman. 2002. Otentisitas
Hadis. Pustaka Firdaus: Jakarta
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari
Ilmu Hadits. UIN-Malang Press: Malang
Mudasir.
1999. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Muhammad,
Tengku Hasbi Ash Shiddieqy. 1999. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits.
Semarang: Putaka Rizki Putra
0 komentar:
Posting Komentar